BALI, HUMAS MKRI – Gagasan mengenai demokrasi atau kedaulatan rakyat dengan segala variasinya, telah diterima oleh masyarakat internasional dan menjadi kerangka besar dalam susunan pemerintahan. Bentuk pengejewantahan dari demokrasi tersebut adalah penyelenggaraan pemilihan umum, untuk memilih wakil rakyat, juga untuk memilih pemimpin negaranya. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam pembukaan Kursus Singkat Internasional (Short Course) dari Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC). Kegiatan tersebut berlangsung di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali.
Dikatakan Wahiduddin, Indonesia pada 2024 nanti akan diselenggarakan 2 (dua) kali pemilihan, yakni pemilihan anggota DPR (National Parliament representation of political party), anggota DPRD (local parliament), dan anggota DPD (member of parliament representing each provices) serta pemilihan Presiden. Pemilihan berikutnya, pada waktu yang berbeda, akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah.
Lebih lanjut Wahiduddin menegaskan, setiap provinsi akan menggelar pemilihan untuk memilih Gubernur beserta Bupati atau walikota yang ada di dalam provinsinya masing-masing. “Bisa dibayangkan betapa sibuk dan kompleksnya persoalan pemilu yang akan dihadapi Indonesia dalam 2 tahun ke depan ini menjelang tahun 2024. Ditambah, pemilu ini adalah kali pertama Indonesia mencoba bereksperimen dengan mekanisme penyelenggaraan demikian. Dalam sejarah Indonesia belum pernah ada catatan yang meriwayatkan mengenai penyelenggaraan pemilu seperti ini,” ujarnya di hadapan narasumber yang hadir serta para peserta.
Menurut Wahiduddin, di balik gagasan besar mengenai demokrasi yang diwujudkan melalui penyelenggaraan pemilu, ada saja praktik yang menunjukkan kecenderungan bahwa penyelenggaraan pemilu juga bisa menjadi faktor pemicu terjadinya konflik di masyarakat. Sebagai contoh, konflik sosial berupa pengkotak-kotakkan masyarakat akibat aksi dukung-mendukung calon atau partai, hingga konflik yang berujung pada kekerasan bahkan pertumpahan darah. Bila dalam setiap penyelenggaraan pemilu yang muncul adalah keresahan di masyarakat pada akhirnya timbul stigma bahwa peralihan kekuasaan melalui pemilu tidak akan pernah bisa berjalan dengan damai.
Wujud Perdamaian
Wahiduddin juga menegaskan perdamaian merupakan cita-cita setiap bangsa. Banyak negara yang menorehkan cita-cita mewujudkan perdamaian sebagai tujuan ideal yang ingin diraih dalam setiap Pembukaan (Preamble) Konstitusinya. Konstitusi Indonesia, UUD 1945, memuat perdamaian sebagai prinsip dasar yang menjadi tujuan dalam keikutsertaan bangsa Indonesia berpartisipasi dalam memelihara ketertiban dunia. Pembukaan UUD 1945 menyatakan “... untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.”
Wahiduddin juga menjelaskan, potensi kekuasaan tiranik untuk mengubah suasana damai sangat mungkin terjadi. Dalam jangka waktu pendek, kekuasaan tiranik maupun autocracy dengan karakteristik tangan besi bisa dengan singkat membuat ketertiban (order). Dengan rezim kekuasaan yang bertumpu hanya pada segelintir orang maka suatu keadaan negara yang carut marut bisa diubah dengan cepat. Akan tetapi, keadaan juga bisa berbalik dengan cepat ketika segelintir orang yang memiliki kekuasaan itu memanfaatkan besarnya kekuataan yang ada di tangannya hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongannya semata. Sehingga potensi bahaya kekuasaan tiranik akan berdampak pada jangka yang lebih panjang.
Karakteristiknya yang berantakan, sambung Wahiduddin, membawa dampak pada penerapan ide-ide mengenai demokrasi kerap kali mendapatkan tantangan. Para cendekiawan membaca fenomena yang terjadi di masyarakat internasional bahwa terdapat dinamika politik yang menggerus demokratisasi. Pola penggerusan itu ibarat bencana alam. Pola pertama itu bisa terjadi secara masif, seperti tanah longsor. Atau pola kedua terjadi perlahan-lahan, seperti erosi.
“Kita, secara pribadi, sebagai bangsa, maupun sebagai bagian dari masyarakat internasional sedang mengalami masa-masa sulit. Di bidang politik ada penggerusan atas gagasan demokratisasi, di bidang ekonomi kita juga mengalami kondisi finansial yang mengganggu pertumbuhan ekonomi, di bidang kesehatan kita baru saja melalui masa pandemi, di bidang lingkungan ancaman mengenai perubahan iklim ada di depan mata. Kesulitan dan tantangan yang sedang kita hadapi ini besar kemungkinan berpotensi sebagai pemicu konflik, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional,” tegas Wahiduddin dalam kegiatan bertema “Penerapan Prinsip Keadilan Sosial untuk Kedamaian Masyarakat”.
Sehingga ia meminta kita untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan ini secara bersama-sama. “Tidak mungkin tanggung jawab penyelesaian segala persoalan ini dibebankan pada pundak perorangan. Tetapi dengan bekerja sama, beban menghadapi segala persoalan akan menjadi lebih ringan,”tandas Wahiduddin.
Untuk diketahui Kursus Singkat Internasional (Short Course) adalah acara resmi yang diselenggarakan setiap tahun oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia (MKRI) sebagai Sekretariat Tetap Perencanaan dan Koordinasi AACC. Diinisiasi pertama kali pada tahun 2015, kursus singkat ini mencakup beragam topik mengenai kerja MK dan lembaga yang setara dan pemajuan hak konstitusional dengan pembicara seperti hakim dan mantan hakim MK Republik Indonesia, akademisi, peneliti, dan praktisi di bidang hukum.
Peserta kursus singkat, antara lain panitera pengganti, hakim pelapor, peneliti, staf hukum anggota AACC, serta akademisi dari universitas terkemuka di Indonesia. Latar belakang pembicara dan peserta short course yang beragam ini mendorong terjadinya diskusi yang bermanfaat dari berbagai perspektif serta saling bertukar pengalaman berdasarkan keahlian masing-masing. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.