BALI, HUMAS MKRI – Dalam Kongres ke-5 WCCJ sesi B, hadir Ketua MK Turki Zühtü Arslan serta Presiden MK Latvia Aldis Lavinś sebagai pembicara dengan subtema “Penerapan” dalam tema besar “Keadilan Konstitusional dan Perdamaian". Dalam materinya, Zühtü menyampaikan bahwa MK Turki memiliki peran untuk menengahi konflik terutama mengenai konflik agama. Semisal, mengenai pelarangan jilbab di Turki.
Menurut Zühtü, penggunaan jilbab di Turki sudah menjadi konflik sosial. Dalam putusannya, MK Turki mendasarkan putusannya pada hak invididu serta HAM. “Pada 2020, MK Jerman memutus pelarangan penggunaan jilbab sesuai dengan konstitusi. Sementara di Perancis, penggunaan jilbab selalu menjadi kontroversi. Sementara di Turki, telah ada diskusi intens mengenai pelarangan jilbab. Pada 2008, MK membatalkan larangan jilbab di lingkungan kampus, karena melanggar hak konstitusional. MK Turki telah mengambil jalan berbeda yang lebih berpihak pada individu dan berbasis hak,” paparnya.
Terhadap materi yang disampaikan tersebut, Anggota Komisi III DPR Abu Bakar Al Habsyi yang hadir mempertanyakan mengenai batas kewenangan MK di Turki dan Latvia. Menanggapi hal tersebut, Zühtü menyampaikan bahwa MK Turki pernah memeriksa dan mengadili terkait konstitusionalitas amendemen konstitusi. Putusan MK Turki tidak menerima permohonan tersebut.
“Kami (MK Turki) menganulirnya dan ini memunculkan banyak diskusi yang rumit di Turki tentang apakah MK memiliki kewenangan tersebut,” ujar Zühtü dalam sesi yang dimoderatori oleh Ketua MK Mongolia Kairat Mami tersebut.
Zühtü melanjutkan dalam menjalankan judicial activism, mahkamah konstitusi dihadapkan pada pilihan untuk tetap menerapkannya atau harus menahan diri. Atas hal tersebut, ia menyebut mahkamah konstitusi harus bersifat netral. “MK harus berada di tengah. MK harus melindungi konstitusi dari kewenangan apapun baik dari legislatif dan eksekutif,” ujar Zühtü yang hadir langsung di BNDCC, Bali.
Baca juga: Menlu Sebut MK Berperan Pastikan Kepatuhan Negara Terhadap Supremasi Hukum
Konteks Eropa
Sementara itu, Presiden MK Latvia Aldis Lavinś menyebut MK Latvia memiliki kewenangan untuk menilai apakah negara sudah mematuhi kewajiban dan memenuhi tuntutan dari rakyat. Untuk itu, ia menyebut MK Latvia mempertimbangkan konteks di Eropa karena situasi lebih mudah jika terdapat yurisprudensi untuk mencari keseimbangan yang tepat.
“Menurut hukum yang mengatur hukum acara MK, menyebutkan putusan kami mengikat dan bukan hanya bagian kooperatif, dan penafsiran kami mengikat bagi legislator,” ucap Aldis.
Erga Omnes
Pada sesi tersebut, Hakim Konstitusi MKRI Enny Nurbaningsih mempertanyakan mengenai tantangan yang dihadapi MK Turki dan MK Latvia serta mengenai sifat putusan erga omnes. Terkait pertanyaan tersebut, dalam permohonan constitutional complaint, MK Turki mempertimbangkan aspek objektif dan subjektif suatu permohonan.
“Namun kami lebih melihat dari pendekatan objektif, yakni Putusan MK harus ditaati oleh seluruh warga negara. Tidak perlu mengajukan permohonan perorangan jika ada pelanggaran terhadap putusan MK dan sangat penting untuk menjalankan supremasi konstitusi. Kami sampai pada suatu kesimpulan entah keadaan itu melanggar konstitusi itu atau tidak, jika MK memutus melanggar konstitusi semua harus menaati,” ujar Zühtü.
Selain itu, Zühtü mengingatkan jika adanya keinginan untuk mengamendemen, maka hal yang harus diingat amendemen konstitusi diperlukan mengingat dunia berubah dan teks konstitusi bersifat statis.
“Kita perlu mengubah naskahnya, tapi untuk memastikan ada tidak perlu sampai melebihi kewenangan MK. Jika harus menambahkan kewenangan, maka kita harus mengamendemen konstitusi,” ucap Zühtü.
Kongres ke-5 The World Conference on Constitustional Justice (WCCJ) ini yang diadakan pada 5 – 6 Oktober 2022 dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Oktober 2022. Biro WCCJ memilih “Constitutional Justice and Peace” sebagai tema utama kongres kali ini. Hal ini merujuk karena di beberapa negara, mahkamah konstitusi juga memiliki peran penting dalam menenangkan situasi setelah konflik bersenjata di dalam negeri. Tak hanya itu, beberapa konstitusi yang dimiliki negara-negara di dunia secara eksplisit merujuk pada perdamaian dan rekonsiliasi sebagai tujuan yang ingin dicapai.
Kongres Kelima WCCJ menjadi forum internasional dengan level tertinggi untuk badan peradilan konstitusi mengingat sampai dengan tahun 2022 ini, tercatat 119 negara menjadi anggota WCCJ. Di samping menjadi forum diskusi, tukar pikiran, berbagi pengalaman dan praktik terbaik di antara anggota WCCJ, Kongres ini merupakan salah satu upaya MKRI untuk meningkatkan kualitas putusan, sekaligus kesempatan untuk semakin meneguhkan kedudukan Indonesia sebagai negara hukum demokratis berdasarkan ideologi Pancasila.
Dalam waktu yang bersamaan, MKRI juga menggelar The 5th Indonesia Constitutional Court International Symposium yang digelar pada 5 – 7 Oktober 2022, tema yang diusung ialah “Constitutional Court and Conflict Resolution”. Hakim Konstitusi Suhartoyo dijadwalkan menyampaikan sambutan pembukaan, dilanjutkan ceramah kunci yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam rangkaian ICCIS, diagendakan 15 pembicara dari berbagai negara yang akan memaparkan pemikiran dan pandangan sebagaimana tema yang dibahas. Rencananya, ICCIS akan diakhiri dengan sambutan penutupan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.(*)
Penulis: Lulu Anjarsari P.
Editor: Lulu Anjarsari P.