JAKARTA, HUMAS MKRI – Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan latar belakang kondisi tersebut, Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Sidang perdana Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 tersebut digelar pada Senin (26/09/2022) di Ruang Sidang Pleno MK, dihadiri secara daring oleh para Pemohon.
Para Pemohon mendalilkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 5 UU Pengadilan HAM selengkapnya menyatakan, “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia”.
Feri Amsari sebagai kuasa hukum para Pemohon menyebut frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, lanjutnya, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
“Jadi, kalau kita pahami misalnya pendapat Juan E. Mendez bahwa ada tanggung jawab dari negara untuk melindungi korban dan masyarakat dalam kejahatan-kejahatan masif dan sistemik terkait dengan hak asasi manusia. Nah, problematikanya Myanmar misalnya kalau kemudian dibatasi oleh konteks Pasal 5, maka sulit sekali para korban pelanggaran hak asasi manusia memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka. Karena negara seperti Myanmar tidak dapat, ya, menjadi pihak di International Criminal Court karena mereka tidak turut menandatangani Statuta Roma. Tidak juga mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer Myanmar itu, lalu berupaya mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabat mereka yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia,” terang Feri.
Menurut para Pemohon, terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Asia. Feri menjelaskan sikap diplomatis Indonesia yang mementingkan relasi antarnegara dinilai tidak sesuai dengan kehendak UUD 1945.
“Bahkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk negara juga tidak memberikan rasa khawatir bagi pelaku pelanggaran HAM untuk memasuki teritorial Indonesia dikarenakan keberadaan frasa ‘oleh warga negara Indonesia’ yang terdapat dalam Pasal 5 Undang‑Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut,” ujar Feri.
Sementara itu, Marzuki Darusman yang hadir secara daring mengungkapkan perlunya suatu cara untuk bisa melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak untuk membela diri secara pribadi. Ia menyebut hal ini sebagai suatu wilayah hukum yang sangat progresif jika permohonannya dikabulkan.
“Karena akan berlaku untuk ASEAN secara keseluruhan dan merupakan kemajuan progresif dari hukum internasional yang tertuju untuk menguatkan hak asasi manusia untuk membela diri terhadap kezaliman dan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara,” jelas Jaksa Agung periode 1999–2001 tersebut.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945,” tandas Feri.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan nasihat perbaikan. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebut terdapat duplikasi materi dalam bagian pendahuluan dengan bagian posita. Menurutnya, bagian pendahuluan dapat dihapus.
“Tidak perlu ada pendahuluan, kalau memang pendahuluan itu sangat urgent, dia berkaitan misalnya untuk uraian mendukung posita, silakan dipindahkan ke posita, kalau kemudian urgent berkaitan dengan untuk mendukung legal standing bisa kemudian dipindahkan legal standing, itu silakan kepada Kuasa Pemohon untuk mengaturnya sedemikian rupa, tetapi dikembalikan saja dengan sistematika yang ada,” saran Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan agar para Pemohon memperbaiki kerugian konstitusionalnya. Menurut Saldi, kerugian konstitusional belum terelaborasi dalam permohonan.
“Apakah cukup itu saja yang dijadikan dasar atau memang ada hak-hak konstitusional lain yang merupakan hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya Pasal 5, Nah, itu belum terelaborasi dengan jelas di dalam permohonan ini. Saya khawatir ini jangan‑jangan ini bagian‑bagiannya disusun terpisah‑pisah ini, satu di Padang, satu di Jakarta, satu di manalagi begitu. Jadi, belum sempat disusun dengan baik sesuai dengan kerangka yang ada di Mahkamah Konstitusi. Pak Marzuki Darusman, ini diingatkan juga ini kuasa hukumnya, sebagai Prinsipal nanti agar mereka serius. Karena ini persoalan sangat serius, kalau ini dikabulkan akan mengubah paradigma hukum nasional, terutama untuk menghadapi isu‑isu hak asasi manusia,” terang Saldi.
Ketua Panel Hakim Wahiduddin Adams memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Selambatnya perbaikan permohonan diserahkan pada 10 Oktober 2022. (*)
Penulis: Lulu Anjarsari P.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.