JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis (1/9/2022) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Fadli Ramadhanil selaku salah satu kuasa hukum menyebutkan Pasal 187 ayat (1), Pasal 187 ayat (5), Pasal 189 ayat (1), Pasal 189 ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 187 ayat (1) berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota.” Pasal 187 ayat (5) berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undangundang ini.” Pasal 189 ayat (1) berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.” Pasal 189 ayat (5) berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini.” Pasal 192 ayat (1) “Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan.”
Fadli Ramadhanil selaku salah satu kuasa hukum Pemohon menyebutkan argumentasi permohonan terkait tentang urgensi penyusunan daerah pemilihan harus memenuhi prinsip daulat rakyat dan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Menurut Pemohon, sambungnya, pemilihan umum merupakan sarana untuk mengejawantahkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Maka penyusunan daerah pemilihan menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum. Sebab hal ini untuk memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis.
“Daerah pemilihan menjadi variabel penting dalam sistem pemilu yang berfungsi sebagai cakupan atau batasan luasan wilayah administratif sebagai arena kompetisi sekaligus jumlah alokasi kursi yang diperebutkan oleh partai politik dan sebagai arena representasi politik antara partai politik atau kandidat dengan pemilih,” jelas Fadli dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin dan Manahan M.P. Sitompul.
Selanjutnya, Pemohon melalui Heroik Pratama selaku kuasa hukum menyebutkan, alasan permohonan berikutnya yakni pembuktian penyusunan daerah pemilihan bertentangan dengan prinsip dan alokasi kursi DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam norma tersebut. Prinsip utama seperti keseteraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional tersebut membatasi ruang realokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan baru untuk Pemilu DPR dan DPRD di Daerah Otonom Baru. Norma ini, sambung Pratama, mengatur jumlah alokasi kursi dan batas-batas wilayah dalam suatu daerah pemilihan DPR ke dalam lampiran III, namun tidak mengatur mekansime pembentukan daerah pemilihan untuk daerah otonomi baru.
Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan Pasal 187 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185”. Menyatakan Pasal 187 ayat (5) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU”. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 189 ayat (1) UU Pemilu “Daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185”.
“Menyatakan Pasal 189 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ‘Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini’ bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur di dalam Peraturan KPU’. Menyatakan Pasal 192 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ‘Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan’ bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185’,” tandas Heroik.
Kerugian Konstitusional
Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebutkan Pemohon perlu menyertakan AD/ART yang menyatakan ketua dan bendahara dapat mewakili di dalam dan luar pengadilan. Untuk menunjukkan yang bersangkutan masih menjabat hingga saat perkara ini diajukan untuk mempertegas kedudukan hukumnya. Berikutnya kerugian konstitusional yang spesifik dialami Pemohon, sebab di dalamnya telah ada kutipannya namun belum konkret penjelasannya.
“Sepanjang isi permohonan ini, ada 32 kata inkonsistensi antarpasal tetapi tidak dengan pasal-pasal yang diujikan pada perkara yang diajukan ini, bahkan di dalam Petitum juga disebut demikian. Jadi, pasal ini seolah-olah tidak harmonis,” jelas Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mencermati pada bagian legal standing Pemohon sehubungan tidak dimuatnya pasal-pasal yang diujikan pada perkara ini. Seharusnya, sambung Manahan, pertentangan tidak hanya disebutkan pada posita saja, tetapi juga harus diuraikan terlebih dahulu pada bagian awal permohonan. Selanjutnya pada bagian kewenangan Mahkamah, diharapkan Pemohon juga dapat dicantumkan kewenangan terbaru sebagaimana aturan yang ada pada PMK 2/2021.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan nasihat agar pada bagian kedudukan hukum Pemohon harus merujuk pada kerugian hak konstitusionalnya. Sebab Pemohon harus membedakan hak konstitusional dan dasar konstitusional untuk menilai konstitusionalitas norma. “Maka, pada alasan permohonan Pemohon haruslah melihat dengan saksama alasan tersebut apakah semua pasal-pasal yang diujikan tersebut benar-benar bertentangan dengan dasar pengujiannya,” jelas Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengingatkan Pemohon untuk dapat memperbaiki permohonan dan menyerahkannya selambat-lambatnya 14 hari usai persidangan hari ini. Naskah perbaikan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK, baik langsung ataupun melalui surat elektronik selambat-lambatnya pada 14 September 2022 mendatang. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina