JAKARTA, HUMAS MKRI- Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak seluruh permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) dalam Sidang Pengucapan Putusan, Rabu (31/8/2022). Permohonan ini diajukan oleh Rega Felix yang mengujikan Pasal 1 angka 12 serta Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah yang menurutnya bertentangan dengan UUD 1945.
Wakil Ketua MK Aswanto dan Hakim Konstitusi Saldi Isra secara bergantian membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-XIX/2021 secara bergantian dari Ruang Sidang Pleno MK. Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyebutkan ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, pada norma penentuan prinsip syariah dan pemuatan dalam peraturan perundang-undangan telah ditempatkan secara tepat dan proporsional. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan bahwa proporsionalitas substansi prinsip syariah sejatinya ditentukan berdasarkan fatwa MUI sebagai salah satu pemegang otoritas agama yang diakui umat Islam di Indonesia serta telah pula diberi mandat oleh negara. Sementara itu, untuk pemuatan fatwa ke dalam bentuk hukum peraturan perundang-undangan telah pula dilakukan oleh organ yang mewakili otoritas negara di bidang jasa keuangan atau perbankan syariah yakni BI atau OJK.
Prinsip syariah yang ditetapkan melalui fatwa dan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa tersebut (dalam hal ini DSN MUI) merupakan suatu bentuk jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi umat Islam yang menginginkan kehidupan ekonomi yang dijalankan sesuai dengan syariah Islam sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Negara dalam hal ini memberikan jaminan, prinsip syariah yang mendasari pembentukan peraturan perbankan syariah merupakan hasil fatwa para ulama yang tergabung dalam MUI dengan kemampuan khusus di bidang masing-masing yang berasal dari berbagai organisasi dengan latar belakang yang berbeda dan juga masukan dari tim ahli di bidang perbankan, ekonomi, akuntansi, pasar modal, asuransi, BI, OJK, hukum, maupun Mahkamah Agung. Sehingga, dalam menetapkan fatwa telah dilihat dari berbagai sudut pandang, hal ini memberikan kepastian hukum dan keamanan bagi stakeholders dalam melaksanakan kegiatan perbankan syariah.
“Pembentuk undang-undang telah menempatkan sesuatu pada posisi yang seharusnya dengan menyerahkan penetapan prinsip syariah kepada para ulama yang ahli di bidang syariah. Kemudian menuangkan prinsip tersebut dalam peraturan perundang-undangan yakni PBI/POJK agar prinsip syariah hasil fatwa para ulama tersebut dapat berlaku dan mengikat secara umum,” ucap Saldi membacakan salah satu pertimbangan hukum Mahkamah pada sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.
Berikutnya Saldi juga menyebutkan bahwa penetapan prinsip syariah melalui fatwa oleh DSN MUI yang kemudian dituangkan dalam PBI atau POJK merupakan perwujudan negara untuk mengakui, menghormati, melindungi, dan memfasilitasi umat Islam dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan sebagaimana termuat dalam Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 1 angka 12 UU Perbankan Syariah sepanjang frasa “berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah” dan inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Perbankan Syariah sepanjang frasa “prinsip syariah”, inkonstitusionalitas norma Pasal 26 ayat (2) UU Perbankan Syariah sepanjang frasa “Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia” serta inkonstitusionalitas Pasal 26 ayat (3) UU Perbankan Syariah adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Mahkamah berkesimpulan, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan konklusi Putusan Nomor 65/PUU-XIX/2021.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Penetapan Prinsip Perbankan Syariah
Pemohon Perbaiki Uji Materi UU Perbankan Syariah
DPR Jelaskan Kewenangan MUI Menerbitkan Fatwa Usaha Perbankan Syariah
Pengaturan Prinsip Syariah Berdasarkan Fatwa MUI Menjamin Kepastian Hukum
BI: Fatwa DSN MUI Penentu Produk Perbankan Syariah
Peran Strategis MUI dalam Perbankan Syariah
Pemerintah Batal Hadirkan Ahli Uji UU Perbankan Syariah
Untuk diketahui, permohonan Nomor 65/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materiil UU Perbankan Syariah diajukan oleh Rega Felix. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (6/1/2021), Rega Felix mengatakan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak mendapatkan hak akibat pengaturan perbankan syariah yang dinilainya tidak jelas. Hal ini diakibatkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah karena memberikan delegasi blangko kepada MUI maupun BI/OJK. Akibatnya, terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Rega, UU Perbankan Syariah secara umum hanya mengatur soal kelembagaan perbankan syariah, tetapi prinsip-prinsip yang ada dalam transaksi perbankan syariah (secara khusus prinsip hak milik) tidak diatur. Sehingga, detail prinsip syariah yang semestinya diatur dalam tingkat UU tidak diatur dalam UU Perbankan Syariah, melainkan melalui Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UU Perbankan Syariah didelegasikan kepada MUI untuk ditetapkan dalam fatwa yang kemudian diterangkan dalam peraturan BI atau OJK setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Akibat penafsiran yang ambigu, sambung Rega, menjadikan seolah OJK mempunyai celah untuk tidak mengatur dalam POJK. Akibat delegasi blangko dan dualisme kewenangan ini menyebabkan persepsi di masyarakat adanya dikotomi antara negara dan hukum agama hingga timbul persepsi “lebih baik ikuti hukum agama daripada hukum negara”. Di sisi lain, praktik bank syariah adalah praktik riba terselubung yang sama saja dengan bank konvensional. Hal tersebut karena dalam hukum negara banyak pertentangan.
Menurut Rega, hal tersebut harus diperbaiki. Sebab jika tidak, pada akhirnya perbankan syariah yang telah tumbuh akan roboh akibat tidak mempunyai pondasi hukum yang kuat. Ini tentu merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai nasabah perbankan syariah.
Selain itu, Rega juga menjelaskan, Pasal 26 UU Perbankan Syariah “memaksa” MUI maupun BI/OJK untuk mengatur materi muatan yang seharusnya diatur di dalam undang-undang.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap UU Perbankan Syariah khususnya mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur Rosihin Ana.
Humas: Tiara Agustina.