JAKARTA, HUMAS MKRI - Solusi terkait pernikahan beda agama hanya dapat dilakukan dengan konversi agama. Sehingga pernikahan dapat dilakukan sesuai agama yang sudah disatukan oleh keyakinan yang sama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Hal tersebut disampaikan oleh Hairunas selaku Ahli Presiden dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kamis (11/8/2022).
Terkait hal ini, lebih jelas Hairunas menjabarkan mengenai dampak dari pernikahan beda agama ditinjau dari perspektif psikologis. Keyakinan terhadap suatu agama merupakan hak individu sebagai warga bernegara, yang pada hakikatnya tidak dapat dipaksakan oleh seseorang kepada yang lainnya termasuk mengubah keyakinannya tersebut. Menurut Hairunas, pemaksaan pindah agama karena hubungan pernikahan sebenarnya dapat melukai psikologis seseorang dan hal demikian cenderung emosional sesaat. Sebab, pernikahan beda agama yang dilakukan tersebut dapat menciderai dan mengganggu kestabilan kerukunan keluarga dari kedua pihak, baik calon istri maupun calon suami. Bahkan lebih konkret Hairunas melihat berdasar sisi psikoterapi dan kesehatan mental, pelaku pernikahan beda agama cenderung sulit berinteraksi dalam keluarga terlebih lagi jika keduanya memiliki anak karena akan mendapati pilihan berat untuk mengikuti salah satu agama yang dianut orang tuanya. Terlebih lagi, sambung Hairunas, pilihan dilematis ini akan berlanjut terus-menerus.
Hairunas juga mengatakan seseorang dapat dikatakan sehat secara mental ketika ia sejahtera, baik secara psikologis, emosional, maupun sosial. Selain itu, kesehatan mental tersebut berpengaruh terhadap cara seseorang berpikir, merasakan, bertindak, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan orang lain. “Maka dari sisi agama manapun, secara teologis, ritualistis, dan normatis memiliki perbedaan yang terpaut jauh, karenanya perilaku beragama di antara pasangan yang berbeda keyakinan dapat menimbulkan sengketa hati dan pikiran. Sehingga rentan pada perpecahan dan keresahan mendalam dari kedua belah pihak,” jelas Hairunas yang merupakan Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dalam keterangannya terhadap permohonan Nomor 24/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perkawinan yang diajukan oleh E. Ramos Petege.
Bentrok Psikologis
Menanggapi pertanyaan dari para pihak dalam persidangan, Hairunas berpendapat cinta hanyalah emosi sesaat yang mungkin saja dapat mengalahkan hal yang prinsip. Namun cinta dapat pula berubah karena hal yang prinsip, seperti sakralitas dari agama itu sendiri. Oleh karenanya pasangan beda agama sering kali mengalami bentrok psikologis. Apabila pasangan tersebut memiliki keturunan maka anak cenderung dilematis dalam menentukan keyakinannya. Bahkan hal ini akan dirasakan berkepanjangan dan merugikan kepribadian dari salah satu di antara keduanya. Karena itu, terjadinya gesekan psikologis ini dapat saja berdampak pada perceraian.
“Maka solusi konversi agama atau pindah agama agar dapat legal standing ini solusi yang sesungguhnya belum solutif. Karena persoalan-persoalan yang terkait dengan pemilihan agama dan oleh sebab emosi, maka ini perlu kesadaran, keikhlasan, dan hanya bisa diukur oleh personal yang akan menikah. Jika ada keinginan di balik itu, maka konversi agama akan menimbulkan persoalan baru,” terang Hairunas secara daring dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi dari Ruang Sidang Pleno MK.
Kompilasi Hukum Islam
Pemerintah pada persidangan kali ini juga menghadirkan Euis Nurlaelawati sebagai ahli. Euis memberikan pandangan mengenai ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 40 (C) yang mengatur seorang laki-laki tidak boleh melakukan pernikahan dengan seorang wanita dalam beberapa kondisi, termasuk kondisi perempuan tidak beragama Islam. Sehingga dalam hal ini kesamaan agama merupakan unsur yang harus dipenuhi dalam kafaah (kesejajaran/keserasian). Dikatakan oleh Euis bahwa Indonesia merupakan negara dengan kategori muslim dan melakukan pelarangan atas perkawinan beda agama.
Meskipun banyak yang memahami UU Perkawinan tidak menetapkan hukum yang tegas, namun keberadaan KHI turut menyatakan tidak memberi ruang pada kemungkinan hal tersebut dan mengakomodir fatwa MUI. Mapannya pemahaman di kalangan para ulama ini, kata Euis, yang secara mayoritas menyatakan perkawinan merupakan ibadah atau mengandung unsur ibadah sehingga perkawinan beda agama dapat dikatakan tidak membawa kemaslahatan dan justru sebaliknya.
“Kemudaratan dari perkawinan beda agama ini justru dianggap masih lebih besar sehingga penghindaran atau menutupnya dipandang menjadi pilihan utama sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi dar’u al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih,” terang Euis.
Akibat Hukum
Berikutnya Euis menjabarkan tentang kajian hukum normatif dan empiris tentang perkawinan beda agama yang dapat menimbulkan beberapa akibat secara hukum, psikologis, dan sosial. Secara yuridis, perkawinan beda agama menimbulkan persoalan hukum keabsahan yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, status hukum anak yang dilahirkan, termasuk pula di dalamnya tentang perwalian dan kewarisan, dan kewarisan antar-pasangan. Hal ini mengingat ketentuan-ketentuan hukum berbeda yang diterapkan dalam agama Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Selanjutnya secara psikologis dan sosiologis, sambung Euis, perkawinan beda agama dapat memicu perselisihan dan bahkan memperkuat perselisihan yang telah ada sebelumnya. Berikutnya perkawinan beda agama juga dinilai menimbulkan gangguan psikologis dan pendidikan terhadap anak-anak karena kebingungan untuk memilih agama yang akan dianutnya.
“Diperbolehkannya perkawinan beda agama akan menimbulkan ketidakselarasan dengan ketentuan hukum yang relevan dengannya kaitannya dengan perwalian, kewarisan, dan lainnya, maka menurut hemat saya, perkawinan beda agama masih relevan untuk tetap diatur seperti pengaturan melalui atau dengan Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perkawinan. Selain itu, pengaturan tersebut selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang penerapannya dapat digantungkan pada ajaran dan keyakinan agama serta lokalitas suatu wilayah atau negara,” demikian kata Euis yang merupakan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga yang hadir secara daring pada persidangan ini.
UU Perkawinan vis a vis UU Kependudukan
Euis mengakui banyak pasangan yang mempunyai pemahaman atau keyakinan jika perkawinan beda agama diperbolehkan, baik secara hukum dan agama dan beberapa memutuskan untuk melakukannya. Keyakinan ini ditemukan pada celah dalam merealisasikan beberapa pasal dalam UU Perkawinan dan UU Kependudukan. Pasal 57 UU Perkawinan menyebutkan pernikahan yang disahkan di luar negeri dapat disahkan di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun setelah kepulangan pasangan di Indonesia. Pada undang-undang tersebut tidak dituliskan mengenai pernikahan beda agama, tetapi keumuman redaksi yang ada di dalamnya menimbulkan pemahaman pada beberapa kalangan jika pernikahan beda agama masuk di dalam ketentuan tersebut. Sementara ketentuan Pasal 35 UU Kependudukan menyebutkan pernikahan yang ditetapkan kebolehannya oleh Pengadilan Negeri dapat dicatatkan oleh pencatat sipil termasuk mengenai pernikahan beda agama.
Euis menganalogikan sejatinya pada pasal tersebut tidak menyebutkan secara gamblang pasangan yang ingin melakukan pernikahan beda agama dapat memohon penetapan dari Pengadilan Negeri. Akan tetapi redaksi pasal tersebut menimbulkan pemahaman bagi yang mendapatkan penolakan pencatatan di Kantor Catatan Sipil dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri. Dengan arti kata, para hakim di Pengadilan Negeri diberi kewenangan untuk menyelesaikan permohonan dan mekanisme ini sebagai dispensasi yang didasarkan pada kemaslahatan dalam pelaksanaan pernikahan tersebut.
“Pernikahan beda agama bisa ditetapkan kebolehannya. Ketentuan terkait mekanisme hukum yang disajikan dalam UU Perkawinan dan UU Kependudukan, menurut saya, menjadi jalan tengah. Memang perlu disebutkan MA menilai ketentuan di pasal UU Kependudukan itu bertentangan secara hukum dengan Pasal 2 UU Perkawinan, tetapi faktanya ketentuan dalam Pasal 35 UU Kependudukan tersebut masih tetap ada. Jika adanya celah hukum ini, yang dalam praktik telah menimbulkan kegaduhan atau konflik dalam masyarakat akibat penafsiran para hakim atas Pasal 35 dan Pasal 36 UU Kependudukan dan akibat beberapa putusan yang memberikan izin pasangan untuk melakukan pernikahan dan pencatatannya, dianggap bertentangan dengan prinsip hukum, kepastian, dan keadilan, maka pemikiran lain perlu diajukan dan ditetapkan oleh Pemerintah melalui penyelarasan Pasal 35 dan Pasal 36 UU Kependudukan dengan Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perkawinan beserta dengan Pasal 40, Pasal 44, dan Pasal 66 Kompilasi Hukum Islam,” jelas Euis.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan persidangan mendatang akan dilaksanakan pada Rabu, 7 September 2022, pukul 11.00 WIB. Adapun agenda persidangan yakni mendengarkan keterangan dari 2 Ahli yang dihadirkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). untuk itu, diharapkan keterangan tertulis dari para ahli dapat diserahkan selambat-lambatnya dua hari sebelum pelaksanaan sidang.
Baca juga:
Gagal Nikah karena Beda Agama, Seorang Warga Uji UU Perkawinan
Pemohon Uji Ketentuan Perkawinan Beda Agama Kurangi Objek Pengujian
Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan DPR dan Pemerintah
MUI Minta MK Tolak Perkawinan Beda Agama
Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Islam
Dewan Da’wah: Dalil Pemohon Soal Nikah Beda Agama Tidak Beralasan Hukum
Nikah Beda Agama Versi Ade Armando dan Rocky Gerung
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 24/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perkawinan ini diajukan oleh E. Ramos Petege. Ramos merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.
Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menuyatakan, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang:… f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.