JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) pada Rabu (3/8/2022) secara daring. Agenda sidang Perkara Nomor 71/PUU-XX/2022 kali ini adalah perbaikan permohonan.
Salah seorang Pemohon, Emir Dhia Isad, secara daring menyampaikan perbaikan permohonan. Antara lain perbaikan ‘perihal permohonan’ menjadi Pengujian Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terkait Kewenangan Mahkamah Konstitusi, lanjut Emir, para Pemohon telah menambahkan berbagai aturan dalam merumuskan kerangka Kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 yang membatalkan ketentuan Pasal 45 dan Pasal 57 ayat (2A) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 serta Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021.
Selain itu, para Pemohon memperbaiki uraian dan penjelasan dalam kedudukan hukum dan alasan permohonan. “Para Pemohon juga menambahkan potensi kerugian konstitusional,” ujar Emir kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Perkawinan Beda Agama dalam UU Adminduk
Sebagai informasi, permohonan Nomor 71/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) diajukan oleh Emir Dhia Isad, Syukrian Rahmatul’ula, dan Rahmat Ramdani. Para Pemohon mengujikan Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”.
Para Pemohon sebagai sarjana hukum di bidang hukum keluarga mempersoalkan ketentuan Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk yang memperbolehkan suatu perkawinan tanpa didahului dengan ritual agama sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (21/7/2022), Emir Dhia Isad mengatakan para Pemohon melakukan pengujian UU Adminduk didasarkan pada perlindungan terhadap nilai-nilai agama di Indonesia, prinsip perkawinan, dan ketahanan keluarga.
“Penjelasan dari Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan jelas bertentangan dengan nilai-nilai filosofi konstitusional yang secara tersirat pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dan sila pertama Pancasila yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan juga dimaknai sebagai negara didasarkan pada nilai-nilai agama sebagai salah satu landasan konstitusional dalam mendirikan negara dan menyelenggarakan pemerintahan,” kata Emir yang hadir secara daring.
Menurut Emir, pasal tersebut mengandung makna negara berkewajiban untuk membuat segala bentuk peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. UUD 1945 tidak memisahkan agama dengan negara dan kebebasan beragama dijamin oleh negara.
“Nilai-nilai agama merupakan sumber dari kebijakan-kebijakan negara. Maka segala kebijakan yang bertentangan dengan nilai agama bertentangan pula dengan konstitusi,” tegas Emir.
Sementara Syukrian selaku Pemohon II dalam persidangan daring menyatakan kata “keluarga” sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tidak dapat semata-mata dimaknai sebagai bentuk hubungan lahiriah/biologis antara seorang ibu-bapak dan anak-anak, melainkan pula terkandung unsur-unsur psikologis, keagamaan, keamanan dan pendidikan yang terkandung dalam hubungan keluarga sebagai sebuah institusi konstitusional yang diakui oleh Negara karena ketahanan keluarga berpengaruh langsung terhadap Ketahanan Nasional (jika keluarga tidak kuat, maka bangsa dan negara berada dalam ancaman kehancuran yang bisa berujung pada perpecahan bangsa atau mudahnya negara dikuasai oleh pihak asing.
“Berdasarkan uraian di atas, perkawinan beda agama menimbulkan akibat hukum dikarenakan perkawinan berbeda agama tersebut tidak sah menurut masing-masing agama sehingga tidak sah juga menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Bahwa dengan adanya perkawinan yang tidak sah tersebut dapat membawa akibat terhadap status dan kedudukan anak. Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang a quo, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Karena perkawinan kedua orang tuanya tidak sah menurut hukum agama atau hukum perkawinan maka anak yang dilahirkan dari perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin,” urai Syukrian.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon dalam petitum meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 35 UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.