JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengujian materiil aturan mengenai keserentakan penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ditolak seluruhnya. Putusan Nomor 35/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Partai Gelora Indonesia) tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi pada Kamis (7/7/2022) siang. Mahkamah menilai pokok permohonan yang diajukan Partai Gelora yang diwakili oleh Muhammad Anis Matta dan Mahfuz Sidik tidak beralasan menurut hukum. "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, keinginan pemohon untuk memisahkan waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dilaksanakan pada hari yang sama tetapi pada tahun yang sama, sama saja mengembalikan model penyelenggaraan Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 yang telah tegas dinilai dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.
“Karena pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUUVI/2008 tersebut, Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 tetap diselenggarakan seperti Pemilu 2004, yaitu Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan lebih awal (dahulu) dibandingkan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Perkembangan selanjutnya, meskipun Pemilu 2014 penyelenggaraannya tetap terpisah antara Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, namun beberapa waktu menjelang penyelenggaraan Pemilu 2014, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Januari 2014, Mahkamah menggeser pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Pada intinya, Mahkamah menyatakan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang terpisah (tidak serentak) dengan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak sejalan dengan prinsip konstitusi,” urai Saldi.
Oleh karena itu, lanjut Saldi, penyelenggaraan Pemilu yang terpisah tersebut dinyatakan inkonstitusional. Namun demikian, sekalipun penyelenggaraan Pemilu yang terpisah tersebut dinyatakan inkonstitusional, secara faktual Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 diucapkan berdekatan dengan tahap pemungutan suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014, sehingga Mahkamah mempertimbangkan dan menyatakan penyelenggaraan Pemilu serentak tersebut baru dilaksanakan pada Pemilu 2019.
Baca juga: Partai Gelora Indonesia Uji Aturan Keserentakan Pemilu 2024
Alternatif Pilihan
Kemudian, Saldi melanjutkan, setelah berbagai pengalaman penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, Mahkamah tetap dengan pendiriannya ihwal keserentakan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dengan memberikan beberapa alternatif pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak sebagaimana termaktub dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020.
Berdasarkan uraian di atas, Saldi menjelaskan, meskipun Mahkamah memberikan beberapa kemungkinan alternatif pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak, namun demikian pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak tersebut tetap harus menjaga sifat keserentakan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sikap dan pendirian Mahkamah demikian telah didasarkan kepada original intent UUD 1945, doktriner dan praktik dengan basis argumentasi keserentakan Pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial.
“Artinya, meskipun terbuka kemungkinan untuk menggeser pendiriannya, namun sampai sejauh ini Mahkamah belum memiliki alasan yang kuat untuk menggeser pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dimaksud,” ujar Saldi.
Terlebih lagi, keinginan Pemohon untuk “memisahkan waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dilaksanakan pada hari yang sama tetapi pada tahun yang sama dengan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan lebih dahulu dibandingkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sama saja dengan mengembalikan kepada model penyelenggaraan Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 yang telah tegas dinilai dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah. Bahkan, sikap demikian telah Mahkamah tegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021.
“Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan frasa ‘secara serentak’ sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional,” ujar Saldi.
Baca juga: Partai Gelora Indonesia Perbaiki Permohonan Uji Keserentakan Pemilu
Untuk diketahui, Perkara Nomor 35/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Partai Gelora Indonesia). Sebelumnya, Pemohon menyampaikan bahwa Pemohon berpotensi besar menjadi peserta pemilu pada tahun 2024, hal ini didasarkan karena adanya legalitas Surat Keputusan Kemenkumham Nomor M.HH-11.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan sebagai Badan Hukum Partai Politik (parpol) serta pencapaian internal tentang persyaratan administrasi dan faktual organisasi untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang‑Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Menurut Pemohon, hal itu akan hilang karena berlakunya ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusulkan capres dan cawapres dengan syarat harus memenuhi paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR RI atau 25% perolehan suara hasil Pemilihan Umum sebelumnya (2019). Oleh karena itu, meskipun Pemohon pada saat tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden kemungkinan besar telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum tetapi tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, serta Pemohon tidak memiliki nilai tawar di dalam mengusulkan Calon Presiden - Wakil Presiden untuk bergabung dengan partai politik lain.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum megikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden terhitung sejak pemilihan umum tahun 2024 dan seterusnya tidak dilaksanakan pada hari yang sama dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah ditetapkannya perolehan suara dan kursi DPR”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina