JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/6/2022). Sidang perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan).
Dalam persidangan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diwakili oleh Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding menyampaikan peraturan BPRS dalam peraturan UU Perbankan Syariah pada dasarnya selaras dengan pengaturan BPR. Dalam pembentukan UU Perbankan, BPRS memiliki fungsi yang sama dengan BPR. Dalam UU Perbankan terkait dengan pelaksanaannya, BPRS berpedoman pada prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang terkandung dalam sumber hukum islam.
Dikatakan Sarifuddin, pembentukan BPR bertujuan untuk melayani masyarakat dalam cakupan yang lebih kecil. Sehingga letak perbedaan BPR dan bank umum terdapat pada jangkauan layanannya yang lebih mikro dibandingkan bank umum. Oleh karena itu lanjut Sarifuddin, DPR menilai tidak tepat apabila BPR—yang dalam hal ini juga dimaknai BPRS—diberi kewenangan yang sama dengan bank umum yang cakupannya lebih luas. Selain itu, hal tersebut justru menghilangkan latar belakang yang membedakan pembentukan BPRS dan bank umum syariah.
“Lalu lintas pembayaran memilki cakupan ruang lingkup yang sangat luas yakni seluruh konsepsi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bank sentral dituntut untuk menjaga pembayaran kualitas pelayanan publik setiap saat sesuai dengan pergeseran tuntutan masyarakat di era digital,” ujarnya secara daring di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Anwar Usman.
Baca juga: BPR Syariah Minta Perlakuan Sama dalam Pelayanan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Sarifuddin menyebut, digitalisasi bank umum perlu juga selaras dengan upaya menjaga stabilitas moneter, sistem keuangan serta rancangan sistem pembayaran. Menurutnya, kompleksitas jasa lalu lintas keuangan yang tidak sederhana ini membutuhkan peraturan dan pengawasan yang komprehensif. Berdasarkan penjelasan tersebut, lalu lintas pembayaran dalam dunia perbankan tidak semudah dan sederhana yang didalilkan pemohon. Fungsi dan tugas masing-masing bank untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan kapasitasnya masing-masing.
Selain itu, Sarifuddin juga menegaskan, dalam perubahan rancangan UU Perbankan telah mengupas perbedaan BPR dan Bank Umum dalam jasa lalu lintas pembayaran. Perbedaannya, yakni bank umum diberikan kewenangan untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran, sedangkan BPR tidak memiliki kewenangan tersebut.
“BPR tidak terlibat dalam beberapa jenis pelayanan kegiatan usaha valuta asing dan giro. Peraturan ini juga dilakukan kepada BPRS yang diatur dalam UU Perbankan Syariah. Untuk menghadapi perkembangan teknologi yang semakin cepat mendorong perbankan syariah untuk mengembangkan infrastruktur teknologi agar dapat melayani nasabah lebih cepat dan baik,” tegasnya.
Baca juga: BPRS HIK Parahyangan Perbaiki Permohonan Uji UU Perbankan Syariah
Tidak Layani Lalu Lintas Pembayaran
Pada sidang yang sama, Pemerintah yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyampaikan BPR dan BPRS tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Desain BPR dan BPRS dimaksudkan untuk menjadi community bank yang segmentasi pasarnya lebih kepada masyarakat kecil di sekitar BPR dan kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM). Dengan desain yang berbeda dengan bank umum dan BPR, maka hal tersebut juga akan tercermin dalam perbedaan cakupan kegiatan usaha termasuk jenis produk yang berbeda.
“Untuk terbentuknya satu BPR dan pembatasan lokasi pusat dan kantor cabangnya yang dimaksudkan untuk menjangkau nasabah untuk lebih intensif sehingga memenuhi kebutuhan intermediasi nasabah skala mikro. Meski modal terbatas namun BPR dan BPRS dimaksudkan menjadi penyedia layanan keuangan lapis pertama yang paling mudah dijangkau bagi masyarakat pedesaan atau Kawasan yang belum terjangkau oleh kantor bank umum,” ungkap Heru.
Selain itu, sambung Heru, BPR dan BPRS didesain untuk berfungsi sebagai layanan perbankan dan memberikan edukasi mendasar mengenai cara kerja perbankan khususnya fungsi intermediasi dan akses keuangan kepada usaha mikro kecil. Mengingat peraturan pembentukan BPRS merujuk kepada pembentukan BPR konvensional maka pembatasan kegiatan pada BPR berlaku juga pada BPRS.
Heru juga menjelaskan, penyertaan modal merupakan kegiatan di luar kegiatan usaha bank, namun menyerap permodalan bank dan tidak dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bisnis bank. Apabila BPR Syariah melakukan penyertaan modal kepada bank lainnya, maka akan mengakibatkan bank tidak dapat memanfaatkan permodalan untuk memberikan pembiayaan kepada masyarakat yang merupakan sumber pendapatan bank melalui bunga.
Menurut Heru, bank yang melakukan penyertaan modal harus memiliki dana yang berlebih dalam menjalankan kegiatan utama usahanya. Oleh karena itu, tertanamnya uang bank dalam penyertaan ini sangat berpotensi terhadap tingkat kesehatan dan keberlangsungan usaha BPRS mengingat permodalan BPRS tidak sebesar bank umum syariah.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.
Menurut pemohon pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro kecil untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Lebih lanjut Kamal mengatakan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi. Dengan adanya norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, BPR Syariah tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana