CISARUA, HUMAS MKRI - Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) bagi Pengurus dan Anggota Pemuda Muhammadiyah masih berlangsung secara daring di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor. Narasumber yang hadir pada hari ini, Rabu (8/6/2022) adalah Peneliti MK Nallom Kurniawan dan Panitera Pengganti MK Syukri Asy’ari.
Nallom Kurniawan menyajikan materi “Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD NRI 1945”. Di awal paparan, Nallom menuturkan kasus fenomenal Marbury vs Madison di Amerika Serikat pada 1803.
Kasus itu, ungkap Nallom, menjadi sejarah awal undang-undang yang dibuat Kongres Amerika Serikat dibatalkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Padahal Mahkamah Agung Amerika Serikat kala itu tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan undang-undang,
“Model dari judicial review di Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak sama dengan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Mengapa? Karena kewenangan judicial review-nya berada pada satu lembaga yudikatif,” kata Nallom.
MK Pertama di Dunia
Lantas bagaimana sejarah pertama kali terbentuknya Mahkamah Konstitusi? Dari Kasus Marbury vs Madison itulah, paham judicial review berkembang ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Austria. Pada 1919 pakar hukum bernama Hans Kelsen mengembangkan gagasan perlu dibentuknya lembaga untuk mengawal Konstitusi, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Hingga kemudian terbentuklah Mahkamah Konstitusi Austria pada 1920 sebagai lembaga peradilan tersendiri di luar Mahkamah Agung.
“Inilah pengalaman pertama berdirinya Mahkamah Konstitusi di dunia. Mahkamah Konstitusi Austria disebut sebagai Mahkamah Konstitusi pertama kali di dunia. Persidangan di Mahkamah Konstitusi Austria tidak terbuka untuk umum. Sedangkan persidangan Mahkamah Konstitusi Indonesia terbuka untuk umum,” urai Nallom.
Bicara mengenai sejarah Mahkamah Konstitusi di Indonesia, ujar Nallom, Mohammad Yamin dalam sidang BPUPK pernah mengusulkan Balai Agung (MA) agar diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju, karena UUD yang disusun tidak menganut trias politica. Selain itu, belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu. Selanjutnya pada 1970-an terdapat usulan dari Ikatan Sarjana Hukum agar Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji undang-undang. Sedangkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dan Ketetapan MPR”.
Alhasil dilakukan perubahan UUD 1945 pada era reformasi, salah satunya dibentuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003 yang memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kemudian kewenangan memutus sengketa konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. MK juga memiliki kewenangan memutus pembubaran partai politik, Pemohonnya adalah pemerintah yang dapat diwakili Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu. Termohonnya adalah parpol yang diwakili pimpinan parpol dan dapat diwakili kuasa hukumnya. Kemudian kewenangan MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan kewajiban MK yaitu memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. DPR wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonan mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum, atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945. Selain empat kewenangan dan satu kewajiban tersebut, MK memiliki kewenangan tambahan yakni memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada).
Teknik Penyusunan Permohonan PUU
Narasumber berikutnya, Panitera Pengganti MK Syukri Asy’ari memaparkan materi “Teknik Penyusunan Permohonan Pengujian UU Terhadap UUD NRI Tahun 1945”. Dikatakan Syukri, perkara pengujian undang-undang adalah perkara yang hanya satu pihak, yang diuji adalah norma undang-undang. Ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon atau lawan.
Selanjutnya Syukri menjelaskan para pihak dalam sidang PUU, yakni Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait. Ketiganya dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan.
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia atau termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, serta badan hukum publik atau privat, maupun lembaga negara.
Mengenai Pemberi Keterangan, jelas Syukri, MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Selain itu, keterangan Pemberi Keterangan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi saat proses pembahasan dan/atau risalah rapat dari undang-undang atau perpu yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Pemberi Keterangan atau yang diminta oleh Mahkamah.
Kemudian yang disebut Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung dan/atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang hak, kewenangan, dan/atau kepentingannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan dimaksud.
Lebih lanjut Syukri memaparkan syarat-syarat pengajuan permohonan, yaitu permohonan dapat diajukan secara luring atau daring. Berkas permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak satu eksemplar asli yang ditandatangani oleh Pemohon/kuasa hukum, fotokopi identitas Pemohon/kuasa hukum dan surat kuasa serta AD/ART. Di samping itu, permohonan sekurang-kurangnya memuat identitas Pemohon dan/atau kuasa hukum, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan (posita) dan petitum.
Usai paparan materi dari Nallom Kurniawan dan Syukri Asy’ari, kegiatan berlanjut dengan praktik penyusunan permohonan pengujian undang-undang. Para peserta kegiatan dibagi dalam kelompok-kelompok kelas terpisah untuk belajar menyusun sistematika dan format permohonan sesuai yang didapat dari materi sebelumnya. Setelah itu, para peserta melanjutkan tugas mandiri praktik penyusunan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Negara Repulik Indonesia Tahun 1945.
Baca juga:
Wakil Ketua MK Resmi Buka Pemahaman HKWN Bagi Pemuda Muhammadiyah
Pemuda Muhammadiyah Dapat Pembekalan Materi Pancasila dan Konstitusi
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.