JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) yang diajukan Almizan Ulfa dan tiga Pemohon lainnya tidak dapat diterima.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Wakil Ketua MK Aswanto bersama para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Selasa (31/5/2022).
Setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama perbaikan permohonan para Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XX/2022 ini, ternyata para Pemohon dalam bagian perihal permohonan menyebutkan pengujian Pasal 222 dan Pasal 223 UU 7/2017, kemudian pada uraian kedudukan hukum para Pemohon menguraikan kerugian konstitusional para Pemohon atas berlakunya Pasal 222, Pasal 223 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017.
Baca juga: UU Pemilu Diuji, Pemohon Minta MK Cantumkan Ambang Batas Atas Pencalonan Presiden
Selanjutnya pada bagian alasan pengajuan permohonan (posita), para Pemohon menyebutkan pokok permasalahan yang dilakukan pengujiannya adalah terhadap Pasal 222 dan Pasal 223 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 7/2017, namun uraian keseluruhan terkait dengan pengujian Pasal 223 a quo hanya berisikan uraian terkait dengan alasan pengujian terhadap Pasal 223 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017 saja.
Selain ketidakkonsistenan sebagaimana dijelaskan di atas, pada bagian petitum permohonan angka 3, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 223 sepanjang frasa “sesuai mekanisme internal partai politik yang bersangkutan” dan frasa “sesuai dengan mekanisme internal partai politik dan/atau musyawarah gabungan partai politik” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Namun para Pemohon tidak menyebutkan secara rinci pada bagian mana (ayat berapa) dari Pasal 223 a quo yang dimintakan pembatalannya, hal demikian menjadikan apa yang dimintakan oleh para Pemohon menjadi tidak jelas dikarenakan ketentuan Pasal 223 a quo terdiri dari 4 (empat) ayat,” ujar Suhartoyo.
Baca juga: Pemohon Uji UU Pemilu Perbaiki Permohonan
Para Pemohon juga dalam petitum angka 4 meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 sepanjang frasa “cukup jelas” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam permohonan tersebut, para Pemohon tidak menguraikan alasan-alasan permohonan untuk membatalkan ketentuan Penjelasan Pasal 223 a quo.
Terhadap permohonan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, fungsi dari Penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menerangkan bahwa Penjelasan dari suatu pasal atau ayat dalam undang-undang merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksudnya.
Dituliskannya frasa “cukup jelas” dalam Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 karena pembentuk undang-undang menganggap rumusan Pasal 223 a quo sudah cukup jelas atau tidak memerlukan penjelasan lagi baik terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan kata maupun istilah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 223 a quo.
“Oleh karena itu, permohonan para Pemohon yang meminta pembatalan terhadap Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 yang oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dinyatakan telah cukup jelas tanpa disertai dengan argumentasi mengapa frasa tersebut dimintakan bertentangan dengan UUD 1945, hal demikian menurut Mahkamah adalah permohonan yang tidak jelas atau kabur, terlebih lagi terhadap permohonan para Pemohon tersebut Majelis Hakim Panel telah memberikan nasihat namun para Pemohon tetap pada pendiriannya,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pertimbangan Mahkamah. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina