JAKARTA, HUMAS MKRI - Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) mengajukan uji Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022 tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih, digelar pada Selasa (24/5/2022) di Ruang Sidang Panel MK.
Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu berbunyi “Partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU”. Fitrah Awaludin Haris selaku salah satu kuasa hukum mengatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, ketentuan verifikasi faktual yang dibebankan pada partai politik nonparlemen untuk memenuhi tahapan verifikasi partai politik peserta kompetisi Pemilu 2024 tidak adil.
Lebih lanjut R. Elang Y. Mulyana selaku kuasa hukum Pemohon lainnya menyebutkan, partai politik yang telah lolos ambang batas perolehan suara minimal partai politi (parliamentary threshold) pada Pemilu 2019 lalu merupakan partai yang telah mapan dan relatif lebih unggul dalam kekuatan struktur, infrastruktur, dan finansial dibandingkan partai nonparlemen termasuk Partai Rakyat Adil Makmur. Perlakuan istimewa ini, sambungnya, memiliki konsekuensi pada adanya perbedaan kesiapan masing-masing partai politik.
“Oleh karenanya, penetapan verifikasi partai politik secara faktual tidak lagi relevan serta untuk menjamin kepesertaan partai politik dalam pemilu yang diamanatkan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Atas dasar tersebut, cukup jelas alasan bagi Mahkamah untuk meninjau dan memperbaiki dengan menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai ‘Partai politik peserta pemilu merupakan partai politik berbadan hukum dan telah lolos verifikasi administrasi oleh KPU’,” sebut Elang membacakan Petitum permohonan perkara secara daring.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah untuk meninjau dan memperbaikinya dengan menyatakan Pasal 17ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi, sepanjang tidak dimaknai “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan Partai Politik berbadan hukum dan telah lolos verifikasi administrasi oleh KPU.”
Merekonstruksi Dalil Permohonan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan agar Pemohonmemperhatikan dalil nebis en idem yang dinyatakan pada permohonan perkara ini seolah meminta agar MK meninjau dan memperbaiki kembali putusan terdahulunya terkait perkara serupa. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat membangun dan merekonstruksi dalil permohonan dan fokus pada perubahan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu usai Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 terdahulu.
Berikutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar Pemohon menjabarkan kedudukan hukum Pemohon secara lebih rinci pihak dalam partai politik yang memiliki kewenangan untuk mewakili dalam persidangan sebagaimana AD/ART. Selain itu, Pemohon juga belum menguraikan hak-hak konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 yang terlanggar akibat berlakunya norma yang telah diputus oleh MK tersebut. “Jika bentuk pelanggarannya adalah mubazir, maka di mana letak kemubazirannya itu? Entah dalam bentuk pembentukan partai politik dan uraikan secara komprehensif,” jelas Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra mencermati perlu bagi Pemohon untuk membaca Putusan MK yang telah memberikan pemaknaan ulang dan diujikan kembali. Hal ini perlu dipelajari agar Pemohon dapat membuat penjelasan yang lebih baik lagi sehingga permohonan ini akan terhindar dari saling kontradiktif.
Panel Hakim Konstitusi memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan. Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 6 Juni 2022. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana