JAKARTA, HUMAS MKRI – Untuk kelima kalinya, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Perkara Nomor 48/PUU-XX/2022 tersebut dimohonkan oleh Damai Hari Lubis yang merupakan seorang advokat. Sidang perdana perkara tersebut dipimpin oleh Ketua Panel Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh digelar pada Selasa (19/4/2022) di Ruang Sidang Pleno MK dan dihadiri Pemohon secara daring.
Arvid Martdwisaktyo selaku kuasa hukum Pemohon mendalilkan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam UU IKN hanya butuh 42 hari dan pembentukannya tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan. Dari Dokumen Perencanaan Pembangunan, Perencanaan Regulasi, Perencanaan Keuangan Negara dan Pelaksanaan Pembangunan. Hal ini karena rencana perpindahan Ibu Kota Negara tidak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Undang-Undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara dan tidak tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019.
“Ibu Kota Negara mendadak muncul dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Namun meskipun demikian, anggaran Ibu Kota Negara tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021 dan 2022,” ujar Arvid.
Pemohon mendalilkan pembentukan UU IKN tidak benar-benar memperhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan Ibu Kota Negara dalam peraturan pelaksana. Dari 44 pasal UU IKN terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana. UU IKN tidak secara detail mengatur mengenai administrasi pemerintahan Ibu Kota Negara. Selain itu, UU IKN masih sangat bersifat makro dalam mengatur hal-hal tentang Ibu Kota Negara. Ragam materi yang didelegasikan dalam 13 perintah pendelegasian dalam UU IKN seharusnya menjadi materi muatan yang diatur dalam level undang-undang karena sifatnya yang strategis.
Pemohon juga mendalilkan, UU IKN dalam pembentukannya tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis. Karena Ibu Kota Negara merupakan materi yang disebutkan dalam UUD 1945, maka setiap kebijakan yang berkaitan dengan Ibu Kota Negara mestinya dirumuskan secara komprehensif dan holistik. Kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara tidak mempertimbangkan aspek sosiologis kondisi nasional dan global yang tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang dari waktu ke waktu trennya masih cukup tinggi.
Selain itu, menurut Pemohon, pembentukan UU IKN minim partisipasi masyarakat. Dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada 7 agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses. Sedangkan 21 agenda lainnya, dokumen dan informasinya tidak dapat diakses publik. Pembentukan UU IKN yang dibahas sejak 3 November 2021 hingga 18 Januari 2022 hanya memakan waktu 42 hari. Tahapan ini tergolong sangat cepat untuk pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan IKN yang sangat strategis dan berdampak luas.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan UU IKN karena bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan saran perbaikan kepada Pemohon terkait sistematika permohonan. “Silakan dibaca Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 mengenai sistematika permohonan pengujian undang-undang termasuk Kewenangan Mahkamah, terutama untuk pengujian formil. Selain itu juga membaca permohonan-permohonan dan putusan-putusan MK mengenai pengujian formil. Karena uji formil itu spesifik, sesuai dengan proses pembentukan undang-undang itu sendiri,” jelas Enny. Selanjutnya Enny menyarankan agar Pemohon menguraikan alasan permohonan lebih detail dengan menunjukkan bukti-buktinya.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mencermati dalam permohonan Pemohon tidak disinggung masalah tenggang waktu permohonan. “Kemudian yang menjadi batu uji permohonan ini adalah Pasal 22A UUD 1945, tidak usah dikaitkan dengan Pasal 18 dan lainnya. Itu tidak perlu lagi. Kemudian mengenai teknisnya diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ungkap Daniel.
Sedangkan Ketua Panel Arief Hidayat berpandangan bahwa permohonan Pemohon terlihat ambigu, akan diarahkan ke pengujian formil atau materiil, meskipun kuasa Pemohon menegaskan merupakan permohonan formil. “Karena kalau lihat, narasinya campur aduk. Ada narasi formil, selanjutnya ada narasi materiil. Tapi kemudian balik lagi ke narasi formil. Kalau Saudara menegaskan ini permohonan formil, berarti fokuskan saja ke pengujian formil. Dengan menegaskan dasar pengujiannya adalah Pasal 22A UUD 1945,” ucap Arief. (*)
Penulis: Nano Tresna A.
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita