JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (5/4/2022). Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh perseorangan warga negara atas nama Umar Husni selaku Direktur PT Karya Jaya Satria. Pemohon menyatakan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada sidang kedua ini, Wahyu Budi Wibowo selaku salah satu kuasa hukum Pemohon menyampaikan hal-hal yang disempurnakan pada permohonannya. Salah satunya penyederhanaan kedudukan hukum Pemohon dan argumentasi permohonan. Pada permohonan terbaru, Pemohon menguraikan tentang perbandingan kasus yang serupa dengan yang dialami Pemohon di Pengadilan Negeri Purwokerto.
“Pada permohonan ini kami sertakan delapan putusan yang terjadi pada beberapa pengadilan. Ada putusan dari pengadilan Jakarta Barat, Purwokerto, Surabaya, Kisaran, Palu, Palembang, Majene, dan Jakarta Timur. Semua kasus yang ada pada putusan tersebut memiliki kesamaan dengan yang dialami Pemohon,” sampai Wahyu pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra dari Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga: Aturan Mengenai Surat Dakwaan dalam Uji KUHAP Digugat
Saat sidang pendahuluan lalu, Pemohon dalam kasus konkret telah mendapatkan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atas perkara tindak pidana bidang perpajakan. Akibatnya, Pemohon mendapatkan tiga surat dakwaan, yakni satu putusan dari Pengadilan Negeri Purwokerto dan dua putusan dari Pengadilan Tinggi Semarang. Berkaitan dengan hal ini, Pemohon menilai dirinya dapat saja dikemudian hari mendapatkan dakwaan keempat, kelima, dan seterusnya tanpa adanya batasan yang pasti terhadap proses perbaikan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan. Namun, sambung Wahyu, yang menjadi permasalahan pada perkara ini, yakni proses surat dakwaan batal demi hukum tersebut dapat saja kemudian dilakukan perbaikan oleh Jaksa Penuntut Umum atau kembali ke proses penyidikan.
Berpedoman dari proses perkara pidana yang telah tiga surat dakwaan terdahulu, Pemohon menilai hal demikian menunjukkan Jaksa Penuntut Umum mengalami kebuntuan dalam melakukan perbaikan. Sebab, kebuntuan tersebut harus diurai atau baru dapat diselesaikan jika proses penyidikan dimulai ulang untuk menata dan menyusun suatu berkas perkara yang komprehensif agar dakwaan tidak dinyatakan batal demi hukum lag.
Lebih lanjut, Pemohon melihat penafsiran terhadap Pasal 143 ayat (3) KUHAP tersebut, Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki batasan dalam memperbaiki dan mengajukan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum juga dapat diajukan perlawanan sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (3) KUHAP. Sehingga, proses peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak terjadi serta Pemohon tidak kunjung mendapatkan kepastian hukum.
Dengan tak adanya pembatasan dalam perbaikan dakwaan itu, Pemohon menilai hal tersebut dapat menciderai rasa keadilan dan kepastian hukum karena kemungkinan Jaksa Penuntut Umum akan mengajukan surat dakwaan untuk keempat kalinya dan sangat mungkin adanya perlawanan untuk keempat kalinya. Untuk itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana