JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Kamis (3/2/2022). Sidang perkara Nomor 8/PUU-XX/2022 ini mohonkan oleh 27 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di 12 negara. Mereka antara lain, Tata Kesantra, Ida Irmayani, Sri Mulyanti Masri.
“Mereka berkedudukan sebagai warga negara yang memiliki hak memilih, tetapi implisit di dalamnya ada hak untuk dipilih,” jelas Refly Harun, selaku kuasa hukum para Pemohon.
Adapun materi yang diuji di MK yaitu Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua 5 puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal tersebut. Paling tidak, terdapat lima kerugian baik potensial maupun aktual yang dialami para Pemohon, yaitu tidak dapat memilih kandidat yang lebih banyak dan lebih selektif; terhambat menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden; tidak mendapatkan keadilan dan akses yang sama dalam proses berpemilu; terhambat untuk memajukan diri dalam memperjuangkan pembangunan masyarakat, bangsa dan negara; menimbulkan polarisasi di masyarakat sehingga menimbulkan pertikaian.
Selain itu, para Pemohon juga meminta agar MK mengubah sikapnya terkait putusan MK mengenai threshold. Menurut para Pemohon, soal threshold tidak bisa dikatakan sebagai open legal policy.
Identitas WNI di Luar Negeri
Menanggapi pokok-pokok dalam permohonan yang telah disampaikan kuasa hukum Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam nasihatnya mengatakan, permohonan para Pemohon pada bagian Kewenangan Mahkamah, belum mencantumkan UU MK yang terakhir (UU No. 7 Tahun 2020). Saldi juga menasihati tim kuasa hukum Pemohon agar menambahkan penjelasan kerugian hak konstitusional dari 27 Pemohon.
“Kuasa Pemohon dapat mencari putusan-putusan MK yang sebelumnya menyatakan threshold sebagai open legal policy, kemudian berubah. Ini jadi tantangan buat kuasa hukum para Pemohon,” kata Saldi.
Selain itu, Saldi menasihati para Pemohon atau kuasanya mengemukakan apa yang menjadi basis bagi Mahkamah untuk meninggalkan open legal policy. “Mungkin bisa diperkuat dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya,” lanjut Saldi.
Nasihat juga disampaikan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh kepada para Pemohon Prinsipal agar memperkuat bangunan argumentasi. Misalnya, dengan menambahkan pendapat para pakar dari luar negeri.
“Paling tidak, ahli dari negara tempat Pemohon tinggal,” kata Daniel.
Hal lain, Daniel mencermati dari 27 orang Pemohon, belum semuanya membubuhkan tanda tangan. Hal tersebut disampaikan Daniel agar jangan sampai ada pihak yang mengatasnamakan Pemohon Prinsipal.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku ketua panel dalam persidangan ini mengemukakan ihwal pentingnya Pemohon Prinsipal mencantumkan KTP atau paspor resmi dalam permohonan. Menurut pengamatan Arief, tidak semua Pemohon mencantumkan KTP, namun hanya mencantumkan SIM, kartu identitas dari pemerintah Perancis, dan kartu identitas pemerintah Hongkong. “Pentingnya KTP atau paspor, maksudnya agar (yang) bersangkutan diketahui betul-betul WNI,” tegas Arief.
Arief juga merespons terkait keabsahan surat kuasa para Pemohon. “Keabsahan surat kuasa di luar negeri, selain harus memenuhi syarat formil, juga harus dilegalisir KBRI setempat,” tandas Arief.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Humas: Raisa Ayuditha
Editor: Nur R.