BALI, HUMAS MKRI - Berkaitan dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) khususnya bagian penjelasan terdapat ketidaksinkronan antara semangat yang ada di norma batang tubuh dengan norma pokoknya. Demikian dikatakan Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Lokakarya dan Kelompok Kerja mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pemulihan Aset, Kamis, (27/01/2022), di Denpasar, Bali, yang diselenggarakan Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung bekerja sama dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat, Kantor Pengembangan Bantuan dan Pelatihan Kejaksaan Luar Negeri.
“Kalau norma pokok semangatnya pada esensinya tidak membatasi bahwa yang dimaksud penyidik asal itu siapa, namun pada penjelasan kemudian membatasi hanya pada enam institusi yang kemudian diberi amanat bisa melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang pada saat menemukan tindak pidana asal,” papar Suhartoyo.
Menurut Suhartoyo, ketika MK melihat pasal tersebut, pilihannya tidak terbatas pada UU TPPU semata, tetapi juga melihat dari bagaimana sebuah norma dibentuk dengan tidak saling bertentangan baik dengan dengan penjelasan atau pun dengan norma lainnya. Oleh karena itu, MK sebagai pengawal konstitusi berpandangan norma tersebut harus diubah agar tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Oleh karena itu MK sebagai pengawal konstitusi termasuk bagaimana mewujudkan sebuah Undang-Undang agar tidak menimbulkan pertentangan, ketidakpastian hukum, ketidakadilan, tidak membuat diskriminasi, oleh karena itu MK melihat penjelasan pasal 74 itu memang harus diselaraskan dengan norma pokoknya,” kata Suhartoyo.
Dengan pertimbangan itu, MK memutus jika sebelumnya pada penjelasan penyidik TPPU hanya dibatasi pada Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak, Bea Cukai, serta Kepolisian diperluas menjadi melekat pada penyidik yang menemukan tindak pidana asal itu. Namun demikian ada catatan bahwa tidak boleh meninggalkan karakter dasarnya harus berkoordinasi dengan penyidik kepolisian, untuk mengkoordinir dan mengawasi penyidikan.
Lebih lanjut Suhartoyo menjelaskan pertimbangan yang sangat penting dalam perkara tersebut adalah penyidik asal yang lebih memahami tindak pidana asal yang ditemukan. Dikatakan Suhartoyo menjelaskan Pasal 74 TPPU yang telah diperiksa, diputus, dan diadili oleh MK bagi kejaksaan yang menerima pelimpahan perkara TPPU yang dilakukan penyidik tindak pidana asal harus menggandeng kepolisian.
Dalam kegiatan yang juga dihadiri oleh Komisi Pemberantas Korupsi, Bareskrim Polri, Pusat Pelaporan dan Anilisis Transaksi Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, Kejaksaan Tinggi Bali dan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur, Suhartoyo mengungkapkan, TPPU tidak dapat diproses jika tidak ada wujudnya, hanya berdasar informasi-informasi. Berdasar pengalamannya, Suhartoyo mengungkapkan, kepolisian menolak perkara TPPU karena tidak ada bukti walau pun banyak berita yang beredar.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang ada di sejumlah institusi memang harus ditingkatkan kemampuannya karena ada kondisi baru dari TPPU yang memiliki karakter khusus. Dalam penyidikan ada teknik-teknik khusus yang dimiliki penyidik kepolisian karena proses penyidikan tidak hanya di belakang meja saja termasuk dalam konteks mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka, apalagi jika TPPU itu kolaboratif dan lintas negara.
Suhartoyo menjelaskan putusan MK berlaku sejak usai diucapkan dalam sidang pengucapan putusan, termasuk putusan mengenai Penyidik PNS yang menemukan tindak pidana asal dalam Pengujian UU TPPU. Suhartoyo berpesan, menjadi jaksa atau pun penyidik TPPU harus memiliki greget yang lebih dalam menjalankan tugasnya. Menurutnya, jika tidak memiliki greget dan hanya selalu penuh kelonggaran lebih baik menjaadi jaksa atau penyidik umum saja.(*)
Penulis: Ilham Wiryadi
Editor: Lulu Anjarsari P.