JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Rabu (19/1/2021) di ruang sidang panel MK. Permohonan Perkara Nomor 65/PUU-XIX/2021 ini dimohonkan oleh Rega Felix yang menguji Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Rega Felix mengatakan telah memperbaiki permohonannya. Rega mempertegas objek permasalahan dan objek pembahasan. Selain itu, Rega mengatakan banyak terjadi perubahan bahasa di setiap bagian permohonan.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Penetapan Prinsip Perbankan Syariah
Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (6/1/2021), Rega Felix mengatakan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak mendapatkan hak akibat pengaturan perbankan Syariah yang dinilainya tidak jelas. Hal ini diakibatkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah karena memberikan delegasi blangko kepada MUI maupun BI/OJK. Akibatnya, terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Rega, UU Perbankan Syariah secara umum hanya mengatur soal kelembagaan perbankan syariah, tetapi prinsip-prinsip yang ada dalam transaksi perbankan syariah (secara khusus prinsip hak milik) tidak diatur. Sehingga, detail prinsip syariah yang semestinya diatur dalam tingkat UU tidak diatur dalam UU Perbankan Syariah, melainkan melalui Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UU Perbankan Syariah didelegasikan kepada MUI untuk ditetapkan dalam fatwa yang kemudian diterangkan dalam peraturan BI atau OJK setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Akibat penafsiran yang ambigu, sambung Rega, menjadikan seolah OJK mempunyai celah untuk tidak mengatur dalam POJK. Akibat delegasi blangko dan dualisme kewenangan ini menyebabkan persepsi di masyarakat adanya dikotomi antara negara dan hukum agama hingga timbul persepsi “lebih baik ikuti hukum agama daripada hukum negara”. Di sisi lain, praktik bank syariah adalah praktik riba terselubung yang sama saja dengan bank konvensional. Hal tersebut karena dalam hukum negara banyak pertentangan.
Menurut Rega, hal tersebut harus diperbaiki. Sebab jika tidak, pada akhirnya perbankan syariah yang telah tumbuh akan roboh akibat tidak mempunyai pondasi hukum yang kuat. Ini tentu merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai nasabah perbankan syariah.
Selain itu, Rega juga menjelaskan, Pasal 26 UU Perbankan Syariah “memaksa” MUI maupun BI/OJK untuk mengatur materi muatan yang seharusnya diatur di dalam undang-undang.
“Apakah UUPA sudah mengatur dengan cukup jelas dan dapat memberikan kepastian hukum yang adil dalam transaksi perbankan syariah menjadi pertanyaan konstitusional yang harus dijawab, karena jika jawabannya sudah cukup maka UU Perbankan Syariah tidak perlu mengatur lebih lanjut, tetapi jika jawabannya belum cukup maka UU Perbankan Syariah harus mengatur hal tersebut agar dapat menjadi lex specialis derogate legi generali dari UUPA,” ujar Rega.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perubahan terhadap UU Perbankan Syariah khususnya mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.