JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) pada Kamis (6/1/2022). Permohonan yang teregistrasi Nomor 71/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh sepasang suami istri, Johanes Halim (Pemohon I) dan Syilfani Lovatta Halim (Pemohon II). Sidang perdana perkara ini dipimpin oleh Wakil ketua MK Aswanto bersama dengan Hakim Konstitusi Manahan M.P Sitompul dan Enny Nurbaningsih sebagai anggota sidang panel.
Pada perkara ini, para Pemohon menguji Pasal 372 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp900,”. Kemudian Pasal 30 UU Jaminan Fidusia yang berbunyi “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.”
Eliadi Hulu selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan norma-norma tersebut tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Sebab berpedoman dari Putusan MK Nomor18/PUU-XVII/2019, yang pada intinya menyatakan penilaian cidera janji harus atas dasar kesepakatan debitur termasuk pula terhadap jaminan fidusia yang ingin dieksekusi harus pula diserahkan secara sukarela. Namun jika debitur keberatan, maka kreditur tidak berhak melakukan eksekusi kecuali atas upaya hukum yang menyatakan debitur telah cidera janji.
“Dari putusan MK tersebut maka debitur berhak untuk melindungi objek jaminan fidusia yang menjadi hak miliknya. Debitur juga berhak untuk melindungi harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, termasuk dengan tidak menunjukkan kepada kreditur objek jaminan fidusia agar terhindar dari eksekusi dan penarikan sepihak,” kata Eliadi yang mengikuti persidangan secara virtual.
Lebih lanjut Eliadi menceritakan jika para Pemohon justru mengalami eksekusi sepihak yang dilakukan oleh pihak BCA Finance dengan mengambil STNK dan kunci asli dari mobil Toyota Voxy (objek jaminan fidusia). Diakui para Pemohon, pihaknya telah memperoleh Surat Persetujuan Relaksasi untuk penundaan pelunasan cicilan dari jaminan fidusia dan telah pula mengajukan relaksasi kedua kalinya mengingat kondisi ekonomi yang sulit karena dampak pandemi Covid-19. Namun parahnya, pihak BCA Finance justru mempidanakan Pemohon I hingga akhirnya ditahan di Polda Metro Jaya.
Kerugian Konstitusional
Terhadap perkara ini Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsuh dalam nasihat hakim mengatakan perlu bagi para Pemohon untuk memperhatikan kerugian konstitusional dari Pemohon II yang dialami dengan dialaminya kerugian yang terjadi pada Pemohon I. Kendati para Pemohon berstatus suami dan istri, perlu bagi para Pemohon menjelaskan kedudukan hukumnya dalam perkara ini. Berikutnya, Enny juga memberikan catatan terhadap keterkaitan kasus konkret yang dialami para Pemohon dengan hak konstitusional yang terlanggar dari Pasal 30 KUHP yang berkaitan dengan hak debitur dan kreditur yang dijamin pada UU Jaminan Fidusia.
Selanjutnya Wakil Ketua MK Aswanto meminta agar Pemohon I dapat menjelaskan maksud dari kekeliruan pelaksanaan norma a quo oleh pihak kepolisian. Sebab hal demikian bukanlah persoalan konstitusional warga negara. Oleh karena itu, Pemohon harus melakukan elaborasi terhadap persoalan konstitusional dari norma yang diuji.
“Secara normatif memang ada pelanggaran, tetapi yang diajukan ke MK haruslah persoalan konstitusional. Maka, para Pemohon harus menyakinkan adanya persoalan konstitusional dalam norma yang diujikan,” kata Aswanto.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.