JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU 21/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (6/1/2021) di ruang sidang pleno MK. Permohonan Perkara Nomor 65/PUU-XIX/2021 dimohonkan oleh Rega Felix menguji Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Rega Felix mengatakan mengalami kerugian konstitusial karena tidak mendapatkan hak akibat pengaturan perbankan syariah tidak jelas. Hal ini diakibatkan oleh Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah karena memberikan delegasi blangko kepada MUI maupun BI/OJK. Hal ini menyebabkan terjadinya disharmoni pengaturan perbankan syariah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Rega, UU Perbankan Syariah secara umum hanya mengatur soal kelembagaan perbankan syariah, tetapi prinsip-prinsip yang ada dalam transaksi perbankan syariah (secara khusus prinsip hak milik) tidak diatur. Sehingga, detail prinsip syariah yang semestinya diatur dalam tingkat UU tidak diatur dalam UU perbankan syariah. Melainkan melalui Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UU Perbankan Syariah didelegasikan kepada MUI untuk ditetapkan dalam fatwa yang kemudian diterangkan dalam peraturan BI atau OJK setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
“Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah bersifat multitafsir yaitu sejauh apa pemberian kewenangan mengaturnya? Karena luasnya pengertian prinsip hukum islam akibatnya adalah tumpang tindih antara materi muatan UU dengan materi muatan yang dideligasikan. Selain itu, UU perbankan syariah memberikan delegasi kewenangan kepada dua lembaga yang berbeda yakni MUI sebagai lembaga non negara dan BI/OJK sebagai lembaga negara dengan kewenangan dalam pembentukan hukum yang berbeda juga yaitu MUI sebagai lembaga yang menetapkan prinsip syariah dan BI/OJK lembaga yang menuangkan prinsip syariah tersebut,” jelas Rega secara daring.
Akibat penafsiran yang ambigu, sambung Rega, menjadikan seolah OJK mempunyai celah untuk tidak mengatur dalam POJK. Akibat delegasi blangko dan dualisme kewenangan ini menyebabkan persepsi di masyarakat adanya dikotomi antara negara dan hukum agama hingga timbul persepsi “lebih baik ikuti hukum agama daripada hukum negara”. Di sisi lain, praktik bank syariah adalah praktik riba terselubung yang sama saja dengan bank konvensional. Hal tersebut karena dalam hukum negara banyak pertentangan.
Rega menegaskan, hal ini harus diperbaiki jika tidak pada akhirnya perbankan syariah yang telah tumbuh akan roboh akibat tidak mempunyai pondasi hukum yang kuat. Ini tentu merugikan hak konstitusional pemohon sebagai nasabah perbankan syariah.
Selain itu, Rega juga menjelaskan, Pasal 26 UU Perbankan Syariah “memaksa” MUI maupun BI/OJK untuk mengatur materi muatan yang seharusnya diatur di dalam undang-undang.
“Apakah UUPA sudah mengatur dengan cukup jelas dan dapat memberikan kepastian hukum yang adil dalam transaksi perbankan syariah menjadi pertanyaan konstitusional yang harus dijawab, karena jika jawabannya sudah cukup maka UU Perbankan Syariah tidak perlu mengatur lebih lanjut, tetapi jika jawabannya belum cukup maka UU Perbankan Syariah harus mengatur hal tersebut agar dapat menjadi lex specialis derogate legi generali dari UUPA,” ujar Rega.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perubahan terhadap UU Perbankan Syariah khususnya mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah.
“Menyatakan Pasal 1 angka 12, dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat sepanjang dimaknai: 1) Fatwa yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai peraturan perundang-undangan; 2) Bukan suatu kewajiban prinsip syariah ditetapkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang berwenang mengatur perbankan syariah menurut undang-undang; 3) Materi muatan atas prinsip syariah yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah materi muatan undang-undang,” urai Rega.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon untuk meringkas permohonannya agar mudah dipahami. “Sederhanakan saja permohonan ini, tetapi secara substansi baik kewenangan MK menurut saya bisa disederhanakan,” ujar Suhartoyo. Selain itu, ia menyebut Pemohon perlu mengelaborasi merumuskan isi dari permohonan.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon untuk mengambil inti permohonan. “Inti permohonannya apa, anda ambil poin-poin pokok permohonannya saja tidak perlu diulas apapun sehingga tidak kabur,”jelas Enny. Kemudian, Enny juga meminta pemohon untuk mengkrucutkan permintaan yang ada pada petitum. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Tiara Agustina