JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (5/1/2022). Permohonan Perkara 64/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (Pemohon I) Jeck Ruben Simatupang (Pemohon II), Dwi Retno Bayu Pramono (Pemohon III), Deddy Fachruddin Kurniawan (Pemohon IV), Oky Yosianto Christiawan (Pemohon V), Desyanna (Pemohon VI).
Kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, kuasa hukum para Pemohon, Putu Bravo Timothy, mengatakan para Pemohon melakukan uji materiil Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja mengenai perubahan Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH).
Putu Bravo Timothy menjelaskan, Pemohon I adalah badan hukum privat, yaitu wadah perhimpunan profesi dokter hewan di Indonesia yang mewakili dan melayani kepentingan profesi veteriner/dokter hewan dan memiliki komitmen untuk mengupayakan pencapaian terbaik dari profesinya dan untuk pelestarian hewan dan kelestarian ekosistem (manusia, hewan,tumbuhan, lingkungan). Pemohon II sampai Pemohon VI adalah perorangan warga negara Indonesia, baik dalam kapasitasnya sebagai profesi dokter hewan dan pengguna jasa dokter hewan.
Para Pemohon, baik dalam kapasitasnya sebagai profesi dokter hewan maupun sebagai pengguna jasa dokter hewan, berkeyakinan dirugikan hak konstitusionalnya dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Menurut para Pemohon, Perubahan UU PKH dalam UU Cipta Kerja mengalami suatu pergeseran, bahwa setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan, semula wajib memiliki izin usaha, kini wajib memenuhi perizinan berusaha.
“Pergeseran tersebut di atas meskipun terlihat sederhana namun menjadi penghalang dan melanggar hak konstitusional Pemohon II sampai dengan Pemohon V yang senyatanya termasuk sebagai stakeholders atas keberlakuan Pasal 34 angka 16 ayat (2) UU No. 11/2020,” jelas Putu.
Para Pemohon sebagai representasi profesi dokter hewan dan pengguna jasa dokter hewan justru pada akhirnya tidak dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan diberlakukannya Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja manakala “Perizinan Berusaha” mewajibkan persyaratan yang bertolak belakang dengan ide “Kemudahan dalam proses pengajuan perizinan berusaha” dan/atau landasan filosofis Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan filosofis UU Cipta Kerja.
Frasa “Perizinan Berusaha” yang dimaksud Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja adalah perizinan berusaha berbasis risiko. Perizinan berusaha demikian dipandang membawa konsekuensi perizinan berusaha pada subsektor peternakan dan kesehatan hewan mempunyai tingkat risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi UMKM dan/atau usaha besar. Sedangkan, kegiatan usaha pada subsektor pertanian dan kesehatan hewan dikategorikan sebagai usaha kecil, maka paling tidak “setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan” dan “tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan” harus memiliki modal usaha lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk memulai dan/atau melanjutkan pekerjaannya.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menegaskan bahwa yang paling penting diperhatikan oleh para Pemohon dalam membuat permohonan adalah harus menguraikan identitas para Pemohon, Kewenangan Mahkamah, legal standing, alasan permohonan atau posita, dan petitum atau hal yang dimohonkan.
“Itu sudah harus jelas dalam suatu permohonan. Jadi, tidak perlu kalau ada kata-kata pembukaan ataupun pendahuluan dalam permohonan pengujian undang-undang,” terang Manahan
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan bahwa selain menguraikan legal standing, permohonan harus memuat anggaran dasar badan hukum privat yang menyebutkan tidak hanya pengurusnya, tapi juga siapa yang berhak mewakili badan hukum di dalam dan/atau di luar pengadilan.
“Yang kedua, di petitum ada kata primer dan subsider. Ini sebenarnya tidak perlu. Kemudian, Saudara tidak hanya mengatakan, ‘tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat’. Tidak ada arah bahwa pasal yang dimohonkan pengujian itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Untuk menyatakan inkonstitusional harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” kata Wahiduddin.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh antara lain menyoroti Kewenangan Mahkamah Konstitusi. “Apakah menggunakan Undang-Undang MK yang terbaru? Karena acuan yang dipakai masih yang lama, nanti tolong diperhatikan. Yang kedua, ada PMK yang terbaru terkait tata beracara dalam perkara pengujian undang-undang yaitu PMK Nomor 2 Tahun 2021. Jadi sistematika permohonan sudah diatur dalam Pasal 10 PMK tersebut,” ujar Daniel.
Berikutnya, Daniel mencermati terkait badan hukum privat dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. “Ini forum tertingginya apa dalam anggaran dasar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia? Apakah kongres, munas, atau apalah. Agar bisa diberi informasi untuk Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia ini, forum pengambilan keputusannya apa yang tertinggi,” tegas Daniel.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Humas: Raisa Ayuditha
Editor: Nur R.