JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) terhadap UUD 1945, pada Selasa (23/11/2021) pagi. Agenda sidang kali ini yakni mendengarkan keterangan Ahli.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Muhammad Najib Azca selaku ahli yang dihadirkan para Pemohon, mengatakan, komponen cadangan (Komcad) adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama (Komut).
“Dengan demikian jelas bahwa pembentukan komponen cadangan ditujukan untuk memperkuat pertahanan negara,” tegas Najib selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon Perkara Nomor 27/PUU-XIX/2021.
Lebih lanjut Najib mengatakan, dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan RI dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman dan ganguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Selain itu, sambung Najib, fungsi pertahanan negara juga ditujukan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Dalam konteks untuk menghadapi ancaman militerlah TNI ditempatkan sebagai komponen utama didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung (Komduk). Sedangkan untuk menghadapi ancaman nonmiliter, UU PSDN menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama.
Dalam kerangka analisis konstruksi konstitusional mengenai pertahanan negara tersebut, maka upaya pembentukan komponen cadangan yang dibuat Kementerian Pertahanan RI, seharusnya hal tersebut diarahkan demi kepentingan membantu dan memperkuat komponen utama pertahanan negara, yaitu TNI dalam rangka menghadapi ancaman militer atau kemungkinan terjadinya peperangan dengan pihak atau negara lain.
“Karena itulah, langkah dan kebijakan Kementerian Pertahanan RI untuk membentuk komponen cadangan dalam rangka menghadapi ancaman selain ancaman militer atau nonmiliter merupakan langkah dan kebijakan yang tidak tepat,” terangnya.
Sebab merujuk pada Pasal 7 UU Pertahanan Negara, komponen utama dalam menghadapi ancaman selain ancaman militer adalah lembaga di luar bidang pertahanan.
“Saya kira kontruksi awal ini penting diingat dan dilihat kembali ketika kita membicarakan komponen cadangan kaitannya dengan aspek pertahanan negara,” imbuh Najib.
Dengan mengikuti kerangka tersebut, lanjut Najib, kerangka analisis kontruksi politik konstitusional tersebut maka bisa dikatakan langkah dan kebijakan pembentukan komponen cadangan untuk menghadapi ancaman nonmiliter menyalahi kontruksi politik konstitusional di negara demokratis yang melihat dan menempatkan kehadiran militer sebagai alat perang. Maka di sejumlah negara praktis yang mengatur dan memiliki komponen cadangan dalam konstruktif strategis negaranya maka tugas utama adalah untuk menghadapi ancaman militer dari negara lain atau menjadi kekuatan perang.
Pelanggaran HAM
Ahli Pemohon berikutnya adalah Jaka Triyana yang mengatakan potensi pelanggaran HAM dalam pelaksanaan UU. Komponen cadangan dan komponen pendukung menjadi titik tolak kelemahan utama di dalam pelaksanaan UU ini.
Jaka mengatakan, HAM harus dipahami standarisasi perilaku negara terhadap warga negaranya baik normal maupun ataupun dalam keadaan ubnormal. Dengan demikian hukuman relasi yang berbasis pada kesamaan antara motivasi, adanya otoritas dan adanya sumber daya harus diiringi dengan pengetahuan yang cukup dari warga negaranya.
Menurutnya, UU PSDN perlu dilengkapi dengan kejelasan kapan dan dimana terkait ancaman yang nyata terhadap pelibatan warga negara di dalam konteks komponen cadangan dan komponen pendukung. Selain itu, UU tersebut tidak mengatur dan menetapkan obyek terkait resiko yang mungkin timbul terkait dengan ketimpangan berdaya.
Pemohon juga menghadirkan Eva Achjani Zulfa sebagai ahli dalam persidangan kali ini. Eva mengatakan, UU PSDN berfungsi untuk pertahanan negara. Menurutnya, apabila dilihat dalam perspektif hukum pidana, pada dasarnya UU ini adalah UU administratif, hanya saja di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang hukum pidana.
“Jadi, kalau mengetahui ada istilah administrative penal law maka kata-kata ini adalah UU administratif dengan sanksi pidana,” kata Eva.
Oleh karena itu, dalam padangan hukum pidana, ukuran bisa mengatakan bahwa satu ketentuan pidana itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan di dalam menentukan ketentuan ini berada di belakang administratif.
Baca juga:
Komponen Cadangan Pertahanan Negara dalam UU PSDN Diuji
Pemohon Perbaiki Uji UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara
DPR: UU Pertahanan Negara Tidak Hanya Mengatur Ancaman Militer dan Nonmiliter
Pandangan Ahli Soal Komput, Komcad, dan Komduk dalam UU PSDN
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU PSDN diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tiga orang warga. Empat LSM dimaksud adalah Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (22/7/2021) pagi, para Pemohon melalui kuasa hukumnya Muhammad Busyrol Fuad mengatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) sekaligus Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Situasi ketidakpastian hukum akibat rumusan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 mutatis mutandis juga berdampak pada kekaburan rumusan norma Pasal 29 UU 23/2019, yang mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
“Padahal, pada pengaturan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang telah secara eksplisit dan memberikan batasan perihal pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung yang semata-mata hanya dapat dimobilisasi untuk menghadapi ancaman militer,” ujar Busyrol.
Menurutnya, rumusan pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), pasal 79, pasal 81 dan pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.
Lebih lanjut ia mengatakan, penyebutan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 bersifat limitatif.
“Secara tegas, pembentuk konstitusi telah eksplisit menyatakan, …Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Pembentuk UUD tidak pernah sekalipun menyebutkan unsur non-manusia (Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, dan Sarana dan Prasarana Nasional) sebagai bagian dari kekuatan utama maupun kekuatan pendukung pertahanan negara,” ungkap Busyrol secara virtual.
Dalam permohonannya, para pemohon juga menyebutkan rumusan pasal 18, pasal 66 ayat (1), pasal 77, Pasal 78, dan pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 terkait dengan Prinsip Conscientious Objection. Lebih jauh pengaturan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) UU PSDN, selain bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan prinsip-prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.
Rumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena menciptakan situasi ketidakpastian hukum. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PSDN yang menentukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari komponen pendukung tersebut bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, yang secara jelas menyebutkan bahwa TNI dan POLRI merupakan kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan negara.
Kemudian rumusan Pasal 46 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena berseberangan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Karena Pasal 46 UU PSDN disebutkan terhadap mereka komponen cadangan selama masa aktif akan diberlakukan hukum militer, yang juga memiliki arti secara a contrario terhadap mereka komponen cadangan selama masa tidak aktif tidak diberlakukan hukum militer.
Pembedaan status subjek hukum antara komponen cadangan dalam masa aktif dan masa tidak aktif, sesungguhnya bermula dari kerancuan status warga negara yang menjadi komponen cadangan yang berimplikasi pada kekaburan sampai tahap mana rakyat dapat diikutsertakan dalam upaya pembelaan negara, dan berikutnya sejauh mana status hukum dari mereka yang bergabung sebagai komponen cadangan, sebagai kekuatan utama atau bukan.
Selain itu, rumusan pasal 75 UU PSDN bertentangan dengan pinsip pembagian Urusan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945, juga telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 75 UU PSDN yang menentukan pendanaan untuk pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara salah satunya bersumber dari APBD bertentangan dengan prinsip pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon akibat berlakunya UU PSDN, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi dapat menerbitkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU PSDN, khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU PSDN masih dalam proses pengujian di MK.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.