JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) pada Kamis (11/11/2021). di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi Nomor 57/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh enam orang mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) yaitu Muhammad Armand Prasetyanto, Mohamad Fikri Nur Yahya, Bagas Febriansyah, Geraldus Manahan, Khairul Syekhan Febriansah, dan Kharis Pranatal Sihotang. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konsitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku hakim anggota.
Adapun materi yang diujikan ke MK yaitu Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menyatakan, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Kemudian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menyatakan, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”
Mohamad Fikri Nur Yahya dalam persidangan menyebutkan para Pemohon dijamin hak konstitusionalnya dalam mengeluarkan pikiran melalui lisan dan tulisan dalam penegakan nilai-nilai perlindungan konstitusionalisme sebagaimana termaktub dalam konstitusi. Sebagai mahasiswa, sambung Fikri, para Pemohon turut aktif dalam memahami isu konstitusi dan terjun dalam beberapa riset hukum merasa terusik akan tidak adanya kejelasan dan kepastian hukum permasalahan hukum.
“Para Pemohon adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, yang memiliki perhatian mendalam terhadap berbagai permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia, khususnya hak untuk mendapatkan kepastian hukum. Sehingga hal demikian menjadi suatu kewajiban bagi para Pemohon untuk meminimalisasi potensi terjadinya ketidakpastian hukum,” sampai Fikri dalam persidangan yang diikuti secara virtual dari kediamannya.
Berikutnya Bagas Febriansyah melanjutkan, alasan para Pemohon dalam ketidakpastian hukum dalam perkara a quo adalah tidak jelasnya prosedur eksekusi jaminan fidusia. Menurut para Pemohon, pada Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor 2/PUUXIX/2021 terdapat perbedaan norma yang telah mengubah jaminan fidusia. Dalam Putusan 18/PUU-XVII/2019, sambung Bagas, MK telah memutus bahwa Pasal 15 ayat (2) dan UU Jaminan Fidusia dan Penjelasannya, bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu pada Putusan 2/PUUXIX/2021, MK yang pada intinya menyatakan pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanya sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur, baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur.
“Pada pandangan para Pemohon terdapat perbedaan antara kedua putusan ini sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum akan suatu regulasi yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini tentang mekanisme eksekusi jaminan fidusia,” jelas Bagas.
Oleh karena itu, para Pemohon melihat ketidakpastian hukum ini menjadikan terciderainya hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehingga, para Pemohon berpegang teguh jika eksekusi fidusia seharusnya wajib dilakukan melalui pengadilan. Hal ini penting mengingat maraknya debt collector yang suka sewenang-wenang menarik kendaraan dari pihak debitur. Oleh karenanya, demi memberikan perlindungan hukum yang adil maka layak dan wajib eksekusi tersebut dilakukan melalui pengadilan.
Keselarasan Permohonan
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihanya mengatakan perlu bagi para Pemohon untuk memperhatikan keselarasan dari isi permohonan, di antaranya berkaitan dengan kewenangan MK, posita, dan petitum. Wahiduddin mengingatkan agar para Pemohon tidak memadukan akibat dua putusan MK tersebut sehingga memunculkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny meminta agar para Pemohon membaca dengan pemahaman secara utuh terhadap Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor 2/PUU-XIX/202. Sehingga nantinya para Pemohon dapat mempedomani perbaikan permohonannya karena perkara yang diajukan pada kesempatan ini sudah jelas dan dimaknai jelas oleh MK.
“Coba baca utuh lagi sekali lagi. MK tidak menggeser pendirian karena tidak ada alasan yang kuat untuk menggeser pendirian Mahkamah dari putusan-putusan tersebut,” nasihat Enny kepada para Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.