JAKARTA, HUMAS MKRI - Sekalipun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ditempatkan sebagai lembaga yang bertugas mengawasi perilaku penyelenggara pemilu dan diberi kewenangan menjatuhkan sanksi. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti DKPP adalah sebuah lembaga peradilan.
Demikian keterangan Ahli Pemohon yang disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (4/11/2021). Agenda sidang kali ini yakni mendengarkan keterangan Ahli Pemohon.
Baca juga: Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Perbaiki Permohonan Uji Materi Konstitusionalitas Putusan DKPP
Dalam persidangan yang digelar secara daring, Khairul mengatakan DKPP adalah salah satu dari tiga lembaga yang didesain sebagai unsur penyelenggara pemilu yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan. Hal itu dikarenakan terdapat Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu yang masing-masing memiliki fungsi pelaksanaan dan pengawasan.
Sebagai bagian dari pemilu, sambung Khairul, DKPP melaksanakan fungsi penegakkan etika yakni etika penyelenggaraan pemilu. DKPP berperan mengawasi dan menjaga agar setiap penyelenggara itu melaksanakan etika dan apabila ada diantara mereka ada yang melanggar etika atau diduga melanggar maka DKPP berwenang memeriksa dan menjatuhkan sanksi. “Karena secara teorinya dia adalah tetap bagian dari pemerintah eksekutif bukan dari bagian lembaga peradilan,” ujarnya.
Dalam konteks desain ketatanegaraan Indonesia, Khairul menambahkan, DKPP tetap ditempatkan sebagai lembaga yang berkedudukan sebagai komisi negara independen dan juga menghasilkan keputusan-keputusan yang secara hukum administrasi ditempatkan sebagai keputusan Tata Usaha Negara.
“Jika melihat perkembangan hukum negara kita prinsip satu kesatuan pemilihan pemilu sebetulnya lahir dan ditegaskan dalam putusan MK Nomor 11 Tahun 2010 dimana ketiga lembaga yang hari ini ditempatkan sebagai penyelenggara pemilu sesuai Pasal 22 itu adalah sebagai satu kesatuan fungsi yang utuh. Artinya fungsi pelaksanaan oleh KPU, pengawasn oleh Bawaslu dan pengawasan etika oleh DKPP itu adalah satu fungsi penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Jadi dia bukan fungsi yang terpisah satu sama lain sekalipun hari ini desain kita menempatkan dia secara terpisah dan itu semata mata hanya bagaimana pemilu jujur adil itu bisa diwujudkan,” papar Khairul.
Dengan adanya pembagian fungsi penyelenggaraan kepada tiga lembaga, menurut Khairul, sebetulnya kedudukan dan hubungan kelembagaan antar lembaga itu adalah setara. Tidak ada lembaga pengawas pemilu yang lebih kuat lebih tinggi, sehingga mengatasi lembaga pengawas pemilu yang lain.
“Serta sejalan dengan prinsip kesetaraan dan juga tidak membolehkan ada wewenang yang diberikan kepada salah satu lembaga yang menempatkan lembaga itu, ya, yang menempatkan lembaga itu akan lebih superior dibandingkan yang lain. Apalagi kalau itu tidak diimbangi dengan adanya cara untuk bagaimana mengimbangi ataupun me-challenge kewenangan-kewenangan yang posisinya lebih tinggi dibandingkan yang lain,” jelas Khairul.
Koreksi
Lebih lanjut Khairul menegaskan, MK memang telah menegaskan bahwa sifat final mengikat itu hanya bagi KPU, bagi presiden, bagi Bawaslu, dan tidak bagi penyelenggara pemilu yang terdampak oleh putusan DKPP. Konsekuensinya tentu penyelenggara pemilu yang dijatuhi sanksi dapat melakukan upaya hukum melalui PTUN.
“Jika melihat permohonannya, ketika sudah ada koreksi dari PTUN pun, DKPP justru bertahan dengan keputusannya karena alasan putusan itu final dan mengikat, seperti kasus yang kita lihat di dalam bagian-bagian yang juga menjadi bagian dari dalil ketika mempersoalkan ini dalam permohonan ini,” urai Khairul.
Menurut Khairul, pemberian sifat final mengikat dalam Undang-Undang Pemilu terhadap putusan DKPP tentunya menempatkan putusan tersebut sebagai produk hukum yang tidak dapat dikoreksi. Artinya, putusan DKPP yang final mengikat itu menyebabkan dia tidak bisa dikoreksi.
“Sehingga dia tidak langsung menempatkan DKPP itu menjadi lembaga yang superior, bahkan terhadap putusan pengadilan sendiri. Jadi, kalau putusannya tidak dapat dikoreksi secara langsung, secara tidak langsung sesungguhnya DKPP itu sudah ditempatkan sebagai lembaga yang lebih kuat dibandingkan yang lain, bahkan dapat bersikap menidakkan untuk pelaksanaan dari sebuah putusan pengadilan,” terang Khairul.
Baca juga: Anggota KPU Persoalkan Konstitusionalitas Sifat Final dan Mengikat Putusan DKPP
Problem Penyelenggaraan Pemilu
Lebih jauh, sambung Khairul, hal ini juga berkaitan dengan kegiatan proses koreksi secara langsung terhadap putusan DKPP. Hal ini dikarenakan putusan DKPP dimaknai final mengikat bagi Presiden, maka pengujian gugatan itu hanya terhadap keputusan Presiden dan keputusan KPU atau Bawaslu saja.
“Ini problem yang saya kira dalam perkembangan penyelenggaraan pemilu kita jadi masalah. Yang bikin putusan sanksinya adalah DKPP, lalu putusan diberi sifat final mengikat, lalu kemudian Presiden, KPU, Bawaslu wajib melaksanakan, tapi yang digugat itu ya putusan Presidennya, keputusan KPU-nya, dan juga putusan Bawaslunya. Sehingga, jika ingin menjaga agar ketidakpastian hukum yang muncul bagi penyelenggara itu dapat diakhiri, maka semestinya apa yang diputus DKPP juga bisa di-challenge ke pengadilan dan kalau ada yang haknya merasa dilanggar, maka ada mekanisme pemulihan melalui pengadilan tata usaha negara” ungkapnya.
Jenis Putusan
Sementara itu staf pengajar di Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Harsanto Nurhadi mengatakan di dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014, kita mengenal dua sifat keputusan, yaitu keputusan yang konstitutif, keputusan konstitutif adalah keputusan yang bersifat permanen, mandiri oleh pejabat pemerintahan. Sedangkan yang kedua adalah keputusan yang deklaratif.
“Menarik di sini, keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif tadi. Jadi, hanya to declare, hanya untuk penyampaian dalam konteks ini, bahkan mungkin penyampaian yang wajib, begitu ya, yang diharuskan oleh perundang- undangan. Nah, kedua sifat keputusan tersebut dapat diuji di PTUN dan dapat dibatalkan. Jadi, apakah dia masih deklaratif atau sudah deklaratif, ya, hanya to declare apa yang konstitutif, yang benar-benar penetapan mandiri oleh sebuah kewenangan tertentu. Dalam hal keputusan konstitutif dibatalkan, maka keputusan tersebut tentunya menjadi batal.Nah, dalam hal keputusan deklaratif yang dibatalkan,” jelas Harsanto.
Harsanto melanjutkan, bila keputusan deklaratif yang dibatalkan Putusan DKPP, ini juga seharusnya ikut batal. “Nah, inilah yang tidak terjadi dalam fakta di lapangan ketika ada sebuah keputusan presiden yang menjalankan keputusan DKPP dibatalkan, maka DKPP masih berpegang kepada putusan kami final mengikat,” sambungnya.
Selain itu, Harsanto juga menegaskan Putusan DKPP wajib dilaksanakan tanpa sebenarnya sebuah kata mengikat. Sehingga sebenarnya produk penyelesaian DKPP tersebut yang disebut dalam undang-undang adalah sebuah keputusan yang dikeluarkan dalam ranah pemerintahan. Dan oleh karenanya, harus dipahami sebagai keputusan yang final atau konstitutif.
“Jadi, lahirnya Undang-Undang Nomor 30 sebenarnya juga harus diikuti oleh penyelenggara pemilu, dalam konteks ini adalah DKPP. Undang-undangnya memang menyebut final meningkat, namun dalam konteks pemerintahan, ia sebenarnya harus menyesuaikan frasa itu menjadi final mengikatnya adalah sebuah keputusan yang final dan konstitutif. Artinya sebenarnya kalau dipahami dengan konteks seperti demikian dalam konteks pemerintahan, maka keputusannya, ya, itu tetap bisa diuji di peradilan, di judicial, ya. Di PTUN, di perdata, bahkan mungkin di pidana kalau ada unsur-unsurnya. Jadi, ada unsur keadilan bagi pencari keadilan seperti tadi yang sudah disebutkan, tetap terjaga dalam konteks ini,” papar Harsanto secara daring.
Sebelumnya pada sidang pendahuluan, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik yang merupakan Anggota KPU RI mengajukan uji materiil aturan mengenai Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Keduanya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021. Keduanya mendalilkan Pasal 458 ayat (13) dan pengujian terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11), ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu. Evi yang merupakan Pemohon I pernah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam putusan DKPP Nomor 317-PKEDKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020 dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020. Meskipun PTUN telah mengabulkan gugatan Pemohon I dalam putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT pada tanggal 23 Juli 2020 dan menyatakan batal Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 sehingga Pemohon I aktif kembali menjadi Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022, tetapi DKPP tetap tidak mengakui Pemohon I sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022.
Untuk itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu sepanjang frasa “putusan” sebagai conditionally constutional (konstitusional bersyarat) sepanjang dimaknai sebagai “keputusan” yang dapat diuji langsung ke peradilan Tata Usaha Negara.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas; M. Halim