JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang perkara Nomor 27/PUU-XIX/2021 ini berlangsung secara luring dan daring pada Senin (25/10/2021) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Ahli Hukum Tata Negara Aan Eko Widianto menyebutkan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 memuat dua norma. Pertama, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Kedua, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan oleh satu kekuatan utama yang terdiri atas TNI dan Kepolisian Negara RI (Polri). Nomenklatur atau istilah yang digunakan dalam UUD 1945 adalah kekuatan utama, dan kekuatan pendukung.
“Jadi, ada kekuatan utama TNI/Polri, dan kekuatan pendukung adalah rakyat. Di sini tidak ada pencampuran antara kekuatan utama dan kekuatan pendukung. Keduanya dipisahkan dan komponennya juga berbeda,” kata Aan.
Berdasarkan unsur norma dimaksud, maka TNI dan Polri merupakan kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan, sedangkan rakyat merupakan kekuatan pendukung, sebagaimana terkandung dalam makna norma Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Pengaturan ini kemudian secara konsisten diatur dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (UU Pertahanan Negara). Dalam Pasal 7 ayat (2) UU Pertahanan Negara disebutkan, “Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Kemudian Pasal 7 ayat (3) UU Pertahanan Negara menyebutkan, “Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.”
“Dengan demikian peran TNI sudah jelas sebagai komponen utama untuk menghadapi ancaman militer sedangkan secara tafsir sistematis sesuai bunyi Ketentuan Pasal 30 Ayat (2) Undang‑Undang Dasar maka Polri sebagai lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan bukan menjadi komponen utama untuk menghadapi ancaman nonmiliter,” terang Aan.
Campur Aduk
Menurut Aan, TNI dan Polri yang merupakan kekuatan utama dalam usaha pertahanan dan keamanan sesuai Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 ini telah dinegasikan dengan UU PSDN yang mencampuradukan kekuatan utama dengan kekuatan pendukung. Seluruh ketentuan yang mengatur komponen cadangan (komcad) dalam UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945.
Kemudian, lanjut Aan, adanya komcad yang terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana prasarana nasional sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 ayat (1) UU PSDN, keberadaan komcad ini mengakibatkan ketidakjelasan kedudukan warga negara ini sebagai salah satu komcad, warga negara tersebut merupakan kekuatan utama atau kekuatan pendukung. Menurut ketentuan Pasal 29 UU PSDN, warga negara tersebut sebagai komcad disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama (komput) dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida. Warga negara dalam ketentuan Pasal 29 UU PSDN tersebut bukan merupakan anggota TNI maupun Polri.
Dengan demikian, menurut Aan, apabila warga negara dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komput dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida, maka mengalami kerancuan status. Warga negara tersebut statusnya sebagai warga negara sipil atau warga negara yang menjadi anggota TNI/Polri (?). Ketidakjelasan ini ditambah lagi dengan adanya dua masa pengabdian warga negara sebagai komcad sebagaimana diatur Pasal 43 UU PSDN, yaitu aktif dan tidak aktif.
“Status warga negara seharusnya tetap menjadi kekuatan pendukung yang sewaktu-waktu siap dimobilisasi. Warga negara tidak diposisikan sebagai komponen cadangan yang tidak jelas posisi sebagai kekuatan utama atau bukan. Dalam kondisi demikian, maka lebih jauh mengakibatkan hilangnya jaminan atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Aan.
Berikutnya Aan menjelaskan Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PSDN yang menentukan anggota Polri merupakan bagian dari komponen pendukung (komduk). Ketentuan ini menurut Aan bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945.
“Dengan demikian, Undang-Undang PSDN yang mengatur komponen cadangan dan Polri sebagai komponen pendukung, bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mengatur usaha pertahanan dan keamanan. Selain itu, menempatkan anggota Polri sebagai komponen pendukung yang setara dengan warga terlatih, itu juga menjadi sangat keliru,” tegas Aan.
Aan juga menegaskan pengaturan nonmanusia, dalam hal ini adalah sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional sebagai komduk, sebagai kompcad, juga bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Penyebutan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur-unsur komduk dan komcad, telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung, sebagaimana ditentukan Pasal 30 ayat (2) UUD1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 itu bersifat limitatif.
Seharusnya yang dimaksud komcad dan komduk, sambung Aan, hanya sebatas sumber daya manusia yang menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan tidak termasuk sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain. Pengaturan tentang sumber daya alam, sumber daya buatan dan sebagainya dalam komduk menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip inform consent, baik bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana. Terutama ketika akan dimobilisasi dengan alasan pertahanan negara.
Terkait dengan penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara, Aan mengatakan Pasal 75 UU PSDN mengatur alokasi anggaran untuk pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara ini dapat bersumber dari APBN, APBD, serta sumber lain yang sah, padahal menurut Pasal 25 Undang-Undang Pertahanan dan Pasal 66 Undang-Undang TNI, sumber anggaran pertahanan hanya melalui APBN.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 mengabaikan penggunaan anggaran yang sifatnya sentralistik. Pasal 75 huruf b dan huruf c menyebutkan bahwa pembiayaan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara melalui APBD dan sumber lain yang sah tidak mengikat di samping dari anggaran pendapatan dan belanja negara ini tentunya menyalahi prinsip urusan yang absolut yang dimiliki oleh Pemerintah pusat.
Hukum Humaniter Internasional
Sementara Ahli Pemohon, Bhatara Ibnu Reza mengatakan UU PSDN tidak secara tegas menyatakan komcad sebagai anggota TNI, tetapi disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komput dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU PSDN. Melihat situasi tersebut, Bhatara kembali mengacu kepada hukum humaniter internasional. Salah satu prinsip fundamental dalam hukum humaniter internasional adalah prinsip pembedaan (distinction principle) antara orang sipil dan kombatan.
Menurutnya, status komcad adalah bukan kombatan dan lebih jauh dapat dikategorikan sebagai “kombatan yang tidak sah”. Tentu situasi ini akan menimbulkan kerugian bagi warga negara. Karena jika ia ikut serta secara langsung dalam permusuhan, maka akan dianggap oleh musuh sebagai orang atau penduduk sipil.
Selanjutnya, Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang PSDN menyatakan, “Bagi komponen cadangan selama masa aktif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) diberlakukan hukum militer.”
Menurutnya juga bukaan merupakan bentuk penyimpangan terhadap prinsip pembedaan. Hukum humaniter internasional menuntut ketegasan status dan tidak ada wilayah abu-abu dalam prinsip pembedaan.
Kerancuan serta pengaburan, apakah anggota komcad adalah seorang sipil atau kombatan kembali muncul dari situasi seorang komcad dalam keadaan aktif atau tidak aktif. Ditambah lagi terdapat fakta UU PSDN tidak menyebutkan secara tegas komcad adalah bagian dari TNI.
Menimbang hal tersebut, Bhatara berpendapat bahwa komcad adalah orang sipil dan tidak dapat dikategorikan termasuk dalam anggota satu golongan, atau jawatan, atau badan, atau dipersamakan, atau dianggap sama layaknya sebagai prajurit TNI yang berarti tidak termasuk dalam yurisdiksi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Selain itu, kerancuan status komcad dalam kaitannya dengan prinsip pembedaan akan merugikan anggota komcad untuk mendapatkan perlindungan, baik sebagai penduduk sipil atau sebagai kombatan yang memiliki keistimewaan. Yang artinya juga menimbulkan kerugian konstitusional, khususnya Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, serta prinsip persamaan di muka hukum.
Dalam situasi konflik bersenjata internasional, telah jelas status anggota TNI, dan anggota Polri, termasuk tugas pokoknya. Anggota Polri tidak dilatih menjadi kombatan dan tidak dapat dijadikan sasaran yang sah selama berlangsungnya KBI untuk menjadi kombatan dan tidak dapat dijadikan sasaran yang sah. Hukum humaniter internasional menjamin perlindungan terhadap anggota Polri sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) PT I dan II dan (2) Tahun 1977, bahkan saat negara telah diduduki oleh musuh, Pasal 54 KJ Tahun 1949.
Berbeda dengan situasi KBNI, dimana tidak berlaku status kombatan. Dalam konteks Indonesia, situasi KBNI dapat terjadi saat Presiden mengumumkan keadaan darurat terhadap seluruh atau sebagian wilayah yang diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959.
“Berangkat dari penjelasan tersebut, Ahli berpendapat bahwa menempatkan anggota Polri sebagai anggota komponen pendukung yang disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang PSDN adalah tidak tepat dan bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Bhatara.
…
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU PSDN diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tiga orang warga. Empat LSM dimaksud adalah Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (22/7/2021) pagi, para Pemohon melalui kuasa hukumnya Muhammad Busyrol Fuad mengatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) sekaligus Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Situasi ketidakpastian hukum akibat rumusan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 mutatis mutandis juga berdampak pada kekaburan rumusan norma Pasal 29 UU 23/2019, yang mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
“Padahal, pada pengaturan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang telah secara eksplisit dan memberikan batasan perihal pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung yang semata-mata hanya dapat dimobilisasi untuk menghadapi ancaman militer,” ujar Busyrol.
Menurutnya, rumusan pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), pasal 79, pasal 81 dan pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.
Lebih lanjut ia mengatakan, penyebutan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 bersifat limitatif.
“Secara tegas, pembentuk konstitusi telah eksplisit menyatakan, …Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Pembentuk UUD tidak pernah sekalipun menyebutkan unsur non-manusia (Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, dan Sarana dan Prasarana Nasional) sebagai bagian dari kekuatan utama maupun kekuatan pendukung pertahanan negara,” ungkap Busyrol secara virtual.
Dalam permohonannya, para pemohon juga menyebutkan rumusan pasal 18, pasal 66 ayat (1), pasal 77, Pasal 78, dan pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 terkait dengan Prinsip Conscientious Objection. Lebih jauh pengaturan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) UU PSDN, selain bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan prinsip-prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.
Rumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena menciptakan situasi ketidakpastian hukum. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PSDN yang menentukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari komponen pendukung tersebut bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, yang secara jelas menyebutkan bahwa TNI dan POLRI merupakan kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan negara.
Kemudian rumusan Pasal 46 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena berseberangan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Karena Pasal 46 UU PSDN disebutkan terhadap mereka komponen cadangan selama masa aktif akan diberlakukan hukum militer, yang juga memiliki arti secara a contrario terhadap mereka komponen cadangan selama masa tidak aktif tidak diberlakukan hukum militer.
Pembedaan status subjek hukum antara komponen cadangan dalam masa aktif dan masa tidak aktif, sesungguhnya bermula dari kerancuan status warga negara yang menjadi komponen cadangan yang berimplikasi pada kekaburan sampai tahap mana rakyat dapat diikutsertakan dalam upaya pembelaan negara, dan berikutnya sejauh mana status hukum dari mereka yang bergabung sebagai komponen cadangan, sebagai kekuatan utama atau bukan.
Selain itu, rumusan pasal 75 UU PSDN bertentangan dengan pinsip pembagian Urusan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945, juga telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 75 UU PSDN yang menentukan pendanaan untuk pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara salah satunya bersumber dari APBD bertentangan dengan prinsip pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon akibat berlakunya UU PSDN, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi dapat menerbitkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU PSDN, khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU PSDN masih dalam proses pengujian di MK.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.