JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) terhadap UUD 1945, pada Rabu (22/9/2021) pagi. Agenda sidang perkara Nomor 27/PUU-XIX/2021 kali ini yakni mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan, Para Pemohon mendalilkan Pasal 4 ayat (2) UU a quo yang mengatur jenis-jenis ancaman yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU a quo, disharmoni dengan Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (UU Pertahanan Negara), dimana ancaman hibrida tidak dikenal dalam identifikasi ancaman pertahanan negara yang diatur dalam Pasal 7 UU Pertahanan Negara.
DPR berpandangan, UU Pertahanan Negara tidak hanya membatasi ancaman bahaya dalam bentuk ancaman militer dan ancaman nonmiliter sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Hal ini tercermin dalam Pasal 4 UU Pertahanan Negara.
Dikatakan Habiburokhman, UU Pertahanan Negara telah menjelaskan lingkup ancaman lebih luas dibandingkan dengan apa yang didalilkan oleh para Pemohon. Hal itu karena UU Pertahanan Negara tidak hanya mengatur lingkup ancaman militer dan nonmiliter melainkan juga ancaman yang bersifat multidimensional yang dapat bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan Internasional antara lain imigran gelap, bahaya narkotika, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, sambungnya, DPR berpandangan bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan UU Pertahanan Negara hanya mengatur ancaman militer dan ancaman nonmiliter adalah keliru.
“Kekeliruan tersebut diakibatkan Pemohon tidak memahami susbtansi UU Pertahanan Negara secara menyeluruh. Sebab Pemohon hanya membandingkan ancaman mana yang dimasukkan UU a quo dengan tidak cermat,” ujar Habiburokhman secara daring.
Lebih lanjut Habiburokhman mengatakan, ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU Pertahanan Negara tidak serta merta dapat dimaknai hanya membatasi ancaman yang bentuknya terdiri dari ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Karena pasal a quo tidak secara eksplisit membatasi identifikasi ruang lingkup frasa ancaman melainkan mengatur sistem pertahanan negara untuk mengatasi ancaman militer dan nonmiliter.
Habiburokhman juga menjelaskan mengenai ketentuan ancaman hibrida. Ia mengatakan, ketentuan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, melainkan melengkapi lingkup ancaman dalam ketentuan UU Pertahanan Negara yang belum mengatur perihal ancaman yang sifatnya campuran dari ancaman militer dan ancaman nonmiliter.
Selain itu, sambung Habiburokhman, dalam usaha membangun pertahanan tidak mungkin dilakukan tanpa adanya dukungan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional.
“Bagaimana mungkin mempertahankan atau menjaga wilayah perairan Indonesia yang begitu luas tanpa menggunakan bahan bakar atau sumber daya alam, kapal, pesawat terbang, peralatan komunikasi, alat navigasi maritim atau sarana-prasarana. Jika menggunakan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana-prasarana nasional sebagai unsur komponen pendukung tidak diatur dalam undang-undang a quo, justru dapat melemahkan pertahanan nasional Indonesia,” jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan hal-hal lain yang terkait pertahanan dan keamanan nasional dan kemanan diatur dalam UU yang kemudian diwujudkan melalui UU Pertahanan Negara dan UU a quo. Ketentuan Pasal 17 dan Pasal 28 UU a quo telah sejalan dengan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Pertahanan Negara.
Pengelolaan sumber daya nasional dengan hanya mengandalkan sumber daya manusia saja, akan mengakibatkan kemunduran pengelolaan pertahanan nasional. Hal ini karena kemajuan teknologi menyebabkan praktik pertahanan nasional tidak cukup dipenuhi dari sumber daya manusia saja. Melainkan perlu sumber daya lainnya seperti sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana dan prasarana nasional. Dengan demikian, permohonan Para Pemohon justru akan melemahkan sistem pertahanan nasional dan tidak sejalan dengan cita-cita Bangsa Indonesia untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang terkandung dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada kesempatan yang sama pemerintah yang diwakili oleh Bambang Eko mengatakan tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari segala ancaman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara spesifik tentang ancaman. Perumusan norma ancaman dalam Pasal 4 UU a quo merupakan open legal policy, yaitu kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam UU yang merupakan kewenangan pembuat UU, sehingga tidak bertentangan dengan apa yang dimohonkan oleh Para Pemohon.
Pasal 7 ayat (2) huruf c UU a quo tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, melainkan melengkapi lingkup ancaman dari ketentuan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang belum mengatur perihal ancaman yang sifatnya campuran, dan ancaman militer, dan ancaman nonmiliter yang dinamakan dengan ancaman hibrida.
Menurut Pemerintah, kondisi pada saat UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disahkan, berbeda dengan kondisi pada saat UU a quo disahkan, yaitu pada tahun 2019. Dengan demikian, Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 UU a quo justru telah menciptakan kepastian hukum, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), dan Pasal 28D Ayat (1), sekaligus Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah berpendapat Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82 UU a quo mengenai pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana prasarana nasional sebagai komponen cadangan untuk kepentingan mobilisasi tidaklah bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bambang juga mengatakan, Penjelasan Umum UU a quo sejalan dengan kelompok yang berpandangan patrikularistik relatif, yang memandang persoalan HAM di samping masalah universal, juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Karena berlakunya ketentuan internasional harus diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan, serta memperoleh dukungan yang tertanam dalam budaya Bangsa Indonesia.
Menurut Pemerintah, Pemohon hanya menyampaikan dalilnya berdasarkan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) ICCPR tentang kebebasan, keyakinan, dan beragama. Padahal ketentuan Pasal 18 ayat (3) ICCPR menentukan bahwa kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaan seseorang, hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak kebebasan bangsa lainnya. Hal ini berarti Conscientious Objection tidak berlaku mutlak, namun dapat dibatasi dengan ketentuan hukum, baik nasional maupun internasional dengan mempertimbangkan prinsip HAM dan demokrasi.
UU a quo merupakan syarat pembatasan masalah HAM, khususnya terkait Conscientious Objection karena alasan untuk melindungi keamanan. Dengan demikian, pemerintah berpendapat bahwa pengaturan Pasal 18 Pasal 66 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79 UU a quo tidak bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, juga Pasal 28E Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga tidak bertentangan dengan prinsip Conscientious Objection Hak warga atas dasar keyakinan.
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU PSDN diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tiga orang warga. Empat LSM dimaksud adalah Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (22/7/2021) pagi, para Pemohon melalui kuasa hukumnya Muhammad Busyrol Fuad mengatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) sekaligus Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Situasi ketidakpastian hukum akibat rumusan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 mutatis mutandis juga berdampak pada kekaburan rumusan norma Pasal 29 UU 23/2019, yang mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
“Padahal, pada pengaturan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang telah secara eksplisit dan memberikan batasan perihal pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung yang semata-mata hanya dapat dimobilisasi untuk menghadapi ancaman militer,” ujar Busyrol.
Menurutnya, rumusan pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), pasal 79, pasal 81 dan pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.
Lebih lanjut ia mengatakan, penyebutan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 bersifat limitatif.
“Secara tegas, pembentuk konstitusi telah eksplisit menyatakan, …Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Pembentuk UUD tidak pernah sekalipun menyebutkan unsur non-manusia (Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, dan Sarana dan Prasarana Nasional) sebagai bagian dari kekuatan utama maupun kekuatan pendukung pertahanan negara,” ungkap Busyrol secara virtual.
Dalam permohonannya, para pemohon juga menyebutkan rumusan pasal 18, pasal 66 ayat (1), pasal 77, Pasal 78, dan pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 terkait dengan Prinsip Conscientious Objection. Lebih jauh pengaturan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) UU PSDN, selain bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan prinsip-prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.
Rumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena menciptakan situasi ketidakpastian hukum. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PSDN yang menentukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari komponen pendukung tersebut bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, yang secara jelas menyebutkan bahwa TNI dan POLRI merupakan kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan negara.
Kemudian rumusan Pasal 46 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena berseberangan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Karena Pasal 46 UU PSDN disebutkan terhadap mereka komponen cadangan selama masa aktif akan diberlakukan hukum militer, yang juga memiliki arti secara a contrario terhadap mereka komponen cadangan selama masa tidak aktif tidak diberlakukan hukum militer.
Pembedaan status subjek hukum antara komponen cadangan dalam masa aktif dan masa tidak aktif, sesungguhnya bermula dari kerancuan status warga negara yang menjadi komponen cadangan yang berimplikasi pada kekaburan sampai tahap mana rakyat dapat diikutsertakan dalam upaya pembelaan negara, dan berikutnya sejauh mana status hukum dari mereka yang bergabung sebagai komponen cadangan, sebagai kekuatan utama atau bukan.
Selain itu, rumusan pasal 75 UU PSDN bertentangan dengan pinsip pembagian Urusan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945, juga telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 75 UU PSDN yang menentukan pendanaan untuk pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara salah satunya bersumber dari APBD bertentangan dengan prinsip pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon akibat berlakunya UU PSDN, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi dapat menerbitkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU PSDN, khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU PSDN masih dalam proses pengujian di MK.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.