JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) merupakan kebijakan Pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak negatif era globalisasi. Hal ini disampaikan oleh pakar hukum internasional, Romli Atmasasmita selaku Ahli Pemerintah dalam sidang uji materiil dan formil UU Cipta Kerja yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/9/2021).
Sidang tersebut digelar untuk Perkara Nomor 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 4 dan 6/PUU-XIX/2021. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan tiga Ahli Pemerintah. Sidang pleno dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Romli menyampaikan bahwa beberapa ketentuan UUD 1945 mencerminkan kesejahteraan sosial—termasuk hak asasi dalam bidang ketenagakerjaan. Menurutnya, UU Cipta Kerja telah mewujudkan cita-cita kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada pasal-pasal dalam UUD 1945. Apalagi, bahwa isu ketenagakerjaan telah ditempatkan pada urutan kedua sebagai isu penting dalam UU Cipta Kerja. “UU Cipta Kerja 2020 merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak negatif era globalisasi,” kata Romli.
Baca juga:
UU Cipta Kerja Dituding Jadikan Pendidikan sebagai Ladang Bisnis
Pemohon Uji UU Cipta Kerja Ajukan Permohonan Provisi
MK Gelar Sidang Pengujian UU Cipta Kerja
Menurut Romli, UU Cipta Kerja sejatinya merupakan solusi untuk mengatasi masalah birokrasi dalam aktivitas bisnis yang secara langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat mencegah dan mengatasi suap serta korupsi. Ia menyebut suap dan korupsi menyebabkan biaya tinggi yang menurunkan posisi daya tawar Indonesia dalam transaksi bisnis global yang menurunkan investasi asing. Di sisi lain, ketidakberhasilan pemerintah meningkatkan efisiensi dan efektivitas regulasi terkait aktivitas iklim usaha yang disebabkan pengaruh obesitas peraturan perundang-undangan, yang menimbulkan ketidakpastian regulasi dalam bidang usaha tersebut.
Romli mengatakan, salah satu cara yang dipandang efisien dan bermanfaat untuk mengatasinya adalah dengan mempersatukan sebanyak 76 ketentuan perundang-undangan di bawah satu payung hukum perizinan berusaha yang disebut Omnibus. Pembentukan peraturan perundang-undangan di era globalisasi ekonomi memerlukan pendekatan yang bersifat interdisiplin ilmu hukum dan ilmu ekonomi.
“Guna mencapai tujuan tersebut diperlukan kolaborasi antara ahli hukum yang memahami politik ekonomi dengan ahli ekonomi yang memahami politik hukum. Kolaborasi dua disiplin ilmu tersebut membentuk pemikiran hukum yang komprehensif, prospektif, dalam melihat dampak hukum ke depan,” jelas Romli yang memberikan keterangan untuk Perkara 103/PUU-XVIII/2020.
Baca juga:
Federasi Serikat Pekerja Tekstil Gugat UU Cipta Kerja
15 Badan Hukum Perbaiki Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Bonus Demografi
Pemerintah menghadirkan Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) Turro Selrits Wongkaren yang memberikan keterangan untuk Perkara Nomor 4/PUU-XIX/2021. Ia menyampaikan bahwa upaya pembangunan negara harus selalu mengenai penduduknya karena penduduk merupakan subjek dan objek pembangunan itu sendiri.
“Oleh karena itu, kita perlu bertolak dari kondisi kependudukan itu sendiri. Dari sisi jumlah, Sensus Penduduk Tahun 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 270,2 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1,25% per tahun. Hasil ini menempatkan Indonesia di peringkat keempat di dunia dalam jumlah penduduk, setelah Tiongkok 1,44 miliar jiwa, India 1,38 miliar jiwa, Amerika Serikat 331 juta jiwa,” urai Turro.
Secara komposisi menurut kelompok usia, ungkap Turro, proporsi penduduk usia muda yaitu 0-14 tahun adalah sekitar 23,3%. Kelompok usia produktif yaitu 15-64 tahun adalah 70,7%. Sedangkan kelompok lanjut usia yaitu 65 tahun ke atas adalah 5,9%. Besarnya kelompok usia produktif ini berkaitan dengan istilah bonus demografi yang disering digunakan oleh berbagai kalangan, baik masyarakat umum, pemerintah maupun akademik.
Secara umum, lanjut Turro, bonus demografi diartikan sebagai kondisi kependudukan yang berpotensi untuk memberikan keuntungan bagi perekonomian melalui relatif lebih besarnya jumlah proporsi usia produktif. Menurut perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memasuki masa bonus demografi sejak 2012 dan diperkirakan akan selesai pada 2036. “Namun demikian, yang jarang dibicarakan adalah puncak bonus demografi sebenarnya terjadi pada periode 2020 dan 2024,” jelas Turro.
Lebih lanjut Turro menyampaikan, kebijakan ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan sosial untuk melindungi dan meningkatkan kapasitas penduduk merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu penyusunan perundang-undangan terhadap dua sisi itu perlu dilakukan sekaligus, agar dalam waktu yang sama dapat mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan berbagai pihak. “Dengan pertimbangan itulah menurut hemat ahli, UU No. 11 Tahun 2020 tidak saja sangat bermanfaat tapi juga dibutuhkan,” tandas Turro.
Baca juga:
UU Cipta Kerja Digugat 662 Pekerja
Federasi dan Pekerja Industri Ujikan Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
Metode Sakti
Selanjutnya Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi memberikan keterangan ahli untuk Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021. Dijelaskan Ahmad Redi, Omnibus Law sebagai metode sakti dalam memecahkan kebuntuan dalam praktik berhukum di Indonesia. Pada 2015, Redi pernah membuat artikel di sebuah media online tentang gagasan awal penggunaan nomenklatur Omnibus Law dalam khazanah ilmu pengetahuan hukum Indonesia. Konsep Omnibus Law tumbuh dan berkembang di negara-negara yang menerapkan sistem common law seperti Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.
“Omnibus Law secara konsepsi mengandung makna sapu jagat, merupakan aturan yang bersifat menyeluruh atau tidak terikat pada satu peraturan saja, namun dalam satu aturan mengatur berbagai hal dan memiliki kuasa atas aturan yang lain,” ungkap Redi.
Gagasan Redi yang tertuang enam tahun silam itu menjadi gagasan yang lahir karena kegundahan Redi sebagai akademisi muda yang juga terlibat dalam penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang. Dia melihat adanya berbagai masalah dalam regulasi dan legislasi yang kian memprihatinkan kehidupan berhukum di Indonesia. Misalnya, terjadinya berbagai konflik norma, distorsi norma, mal interpretasi norma, multi interpretasi norma dan sebagainya. Ego sektoral kementerian/lembaga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang menahun menjadi salah satu penyebabnya. Sebagai contoh, pengaturan di sektor sumber daya alam saling mengunci satu sama lain.
“Lihatlah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba memiliki politik hukum agar mineral dalam perut bumi harus diolah di dalam negeri. Hal itu dituangkan dalam Pasal 102, 103, 170 UU Minerba. Lalu lahir UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perindustrian. Pasal 101 UU a quo menyebutkan bahwa seluruh kegiatan usaha wajib memiliki Ijin Usaha Industri.
Dampaknya, sambung Redi, ada duplikasi ijin untuk kegiatan yang sama. Meski sama-sama membangun smelter, tapi harus ada ijin dari dua kementerian, dua biaya, dua dokumen, dua proses administrasi, dua potensi moral hazard dari tiap-tiap mahluk yang bernama ijin. Inilah yang kemudian menjadi salah satu contoh, betapa kemudian distorsi norma, kontestasi norma terjadi.
“Praktik berhukum di Indonesia seperti ini kemudian menghambat pembangunan ekonomi kita. Ini yang kemudian menjadi bencana peraturan perundangan-undangan bagi pembangunan hukum di Indonesia. Ada efek domino yang luar biasa di sektor penggunaan mineral dan batubara kita,” tegas Redi.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara 91/PUU-XVIII/2020 Hakimi Irawan Bangkid Pamungkas, dkk. melakukan pengujian formil UU No. 11/2020. Mereka mendalilkan, alasan Mahkamah Konstitusi memberikan tenggat 45 hari suatu undang-undang dapat diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi, adalah untuk mendapatkan kepastian hukum secara lebih cepat atas status suatu Undang-Undang apakah dibuat secara sah atau tidak. Sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Sementara para Pemohon Perkara 103/PUU-XVIII/2020 adalah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), diwakili oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardian. Mereka melakukan pengujian formil UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU No. 11/2020 antara lain Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59, Pasal 61, Pasal 61A, Pasal 66, dan Pasal 88.
Sedangkan para Pemohon Perkara 105/PUU-XVIII/2020 adalah Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan 12 Pemohon lainnya. Mereka melakukan pengujian formil dan pengujian materiil UU No. 11/2020 antara lain Bab IV Bagian Kedua: 1) Pasal 81 angka 1 (Pasal 13 ayat (1) huruf c UU No.13/2003) mengenai pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja perusahaan. Selain itu Pasal 81 angka 2 (Pasal 14 ayat (1) UU 13/2003) bahwa lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Sementara permohonan Perkara Nomor 107 PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama 14 Pemohon lainnya. Para Pemohon juga melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja bertentangan dengan syarat formil pembentukan undang-undang dalam tahap perencanaan. UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan. Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK. Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja.
Kemudian para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan keberlakuan UU tersebut. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita