JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) terhadap UUD 1945, kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (4/8/2021) siang. Agenda sidang Perkara Nomor 27/PUU-XIX/2021 adalah pemeriksaan perbaikan permohonan.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, kuasa hukum pemohon Muhammad Busyrol Fuad memaparkan pokok-pokok perbaikan permohonan terkait dengan legal standing. Ia menjelaskan pihak-pihak yang hadir dalam persidangan adalah pihak-pihak yang memang berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Pemohon sebagai Badan Hukum.
Selain itu, pada poin 25 terdapat sedikit perbaikan yang sebenarnya teknis terkait dengan penulisan kode bukti. “Sebelumnya, itu terletak di bagian D, kami pindah di atas bagian A. Kemudian di halaman 12, tu sebelumnya kami terlewat, ada poin terkait dengan Pasal 28, ini salah satu pasal yang kami uji. Namun di dalam tabel ini sebelumnya terlewat, tidak kami tuliskan namun sudah kami tambahkan,” kata Busyrol secara daring.
Busyrol pun menyampaikan perbaikan lainnya terkait dengan elaborasi mengenai keadaan darurat di dalam poin 71, 72, dan 73. Hal ini nantinya memiliki konsekuensi terkait dengan rumusan petitum di akhir Permohonan.
“Selanjutnya terkait dengan Permohonan provisi, Yang Mulia. Kemarin ada nasihat untuk lebih mengelaborasi, memperkuat apa yang menjadi argumentasi para Pemohon, sehingga dalam Permohonan ini pada akhirnya kami mengajukan permohonan provisi. Kami sudah mencantumkan berbagai argumentasi yang coba kami susun,” tambahnya.
Perbaikan selanjutnya terkait dengan Petitum. Di dalam Perbaikan ini, lanjut Busyrol, tentu berdasarkan bangunan argumentasi yang coba diperkuat dalam alasan-alasan Permohonan. Pada dasarnya terhadap beberapa pasal, para Pemohon memohon adanya inkonstitusional bersyarat khususnya terkait dengan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 29 sebagaimana tertera di dalam Petitum 3. Para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dibaca “ancaman militer dalam keadaan darurat perang.”
“Ini sebenarnya di Petitum 4-nya sama, cuma konteksnya ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kemudian, Petitum kami selanjutnya yang terkait dengan inkonstitusional bersyarat adalah terkait dengan Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82 Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dibaca warga negara dan/atau komponen cadangan sumber daya manusia,” jelasnya.
Baca juga:
Komponen Cadangan Pertahanan Negara dalam UU PSDN Diuji
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU PSDN diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tiga orang warga. Empat LSM dimaksud adalah Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (22/7/2021) pagi, para Pemohon melalui kuasa hukumnya Muhammad Busyrol Fuad mengatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) sekaligus Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Situasi ketidakpastian hukum akibat rumusan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 mutatis mutandis juga berdampak pada kekaburan rumusan norma Pasal 29 UU 23/2019, yang mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
“Padahal, pada pengaturan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang telah secara eksplisit dan memberikan batasan perihal pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung yang semata-mata hanya dapat dimobilisasi untuk menghadapi ancaman militer,” ujar Busyrol.
Menurutnya, rumusan pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), pasal 79, pasal 81 dan pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.
Lebih lanjut ia mengatakan, penyebutan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 bersifat limitatif.
“Secara tegas, pembentuk konstitusi telah eksplisit menyatakan, …Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Pembentuk UUD tidak pernah sekalipun menyebutkan unsur non-manusia (Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, dan Sarana dan Prasarana Nasional) sebagai bagian dari kekuatan utama maupun kekuatan pendukung pertahanan negara,” ungkap Busyrol secara virtual.
Dalam permohonannya, para pemohon juga menyebutkan rumusan pasal 18, pasal 66 ayat (1), pasal 77, Pasal 78, dan pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 terkait dengan Prinsip Conscientious Objection. Lebih jauh pengaturan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) UU PSDN, selain bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan prinsip-prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.
Rumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena menciptakan situasi ketidakpastian hukum. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PSDN yang menentukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari komponen pendukung tersebut bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, yang secara jelas menyebutkan bahwa TNI dan POLRI merupakan kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan negara.
Kemudian rumusan Pasal 46 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena berseberangan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Karena Pasal 46 UU PSDN disebutkan terhadap mereka komponen cadangan selama masa aktif akan diberlakukan hukum militer, yang juga memiliki arti secara a contrario terhadap mereka komponen cadangan selama masa tidak aktif tidak diberlakukan hukum militer.
Pembedaan status subjek hukum antara komponen cadangan dalam masa aktif dan masa tidak aktif, sesungguhnya bermula dari kerancuan status warga negara yang menjadi komponen cadangan yang berimplikasi pada kekaburan sampai tahap mana rakyat dapat diikutsertakan dalam upaya pembelaan negara, dan berikutnya sejauh mana status hukum dari mereka yang bergabung sebagai komponen cadangan, sebagai kekuatan utama atau bukan.
Selain itu, rumusan pasal 75 UU PSDN bertentangan dengan pinsip pembagian Urusan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945, juga telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 75 UU PSDN yang menentukan pendanaan untuk pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara salah satunya bersumber dari APBD bertentangan dengan prinsip pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon akibat berlakunya UU PSDN, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi dapat menerbitkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU PSDN, khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU PSDN masih dalam proses pengujian di MK.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.