JAKARTA, HUMAS MKRI - Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik yang merupakan Anggota KPU RI mengajukan uji materiil aturan mengenai Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Keduanya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021. Dalam sidang perdana yang digelar pada Senin (2/8/2021), keduanya hadir secara virtual. Keduanya mendalilkan Pasal 458 ayat (13) dan pengujian terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Evi yang merupakan Pemohon I pernah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam putusan DKPP Nomor 317-PKEDKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020 dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020. Meskipun PTUN telah mengabulkan gugatan Pemohon I dalam putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT pada tanggal 23 Juli 2020 dan menyatakan batal Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 sehingga Pemohon I aktif kembali menjadi Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022, tetapi DKPP tetap tidak mengakui Pemohon I sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022.
Evi mengungkapkan bahwa Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat membuatnya dicap sebagai penjahat pemilu hingga saat ini. Padahal, ia telah bekerja aktif serta telah melakukan pemilihan kepala daerah.
“Di dalam penyelenggaraan (pemilihan kepala daerah) tersebut, saya juga ikut mengambil keputusan dan kebijakan bahkan supervisi dan mewakili KPU dalam kegiatan-kegiatan luar negeri. Putusan final dan mengikat ini membuat saya dicap sebagai penjahat pemilu. Kemudian juga mengurangi dan mendistorsi apa yang telah diputuskan oleh KPU,” ujar Evi.
Sementara Arief mengungkapkan ada fakta hukum baru serupa dengan yang dialami oleh Pemohon I terjadi pula pada Anggota KPU Provinsi Papua. Menurutnya, hal ini juga disebabkan oleh Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat.
“Saya khawatir kalau pemahaman sifat final dan mengikat, dan produk hukumnya masih bersifat putusan atau dimaknai sebagai sebuah putusan. Maka akan lebih banyak orang yang tidak diakui kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu,” papar Arief sebagai Pemohon II.
Dalam kasus konkret, Arief diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua KPU atas laporan mendampingi Pemohon I saat mendaftarkan gugatan di PTUN Jakarta dan menerbitkan Surat Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020 yang berkonsekuensi aktifnya kembali Pemohon I sebagai Anggota KPU. Menurut Para Pemohon tindakan melakukan upaya hukum ke pengadilan dalam rangka mencari keadilan adalah hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi dan oleh karena itu, tindakan Pemohon II tidaklah tepat jika dinyatakan merupakan pelanggaran kode etik. Demikian pula dengan diterbitkannya surat a quo adalah hasil tindak lanjut atas putusan PTUN Jakarta. Terbitnya surat a quo merupakan keputusan kolektif kolegial Ketua dan Anggota KPU. Oleh karena Pemohon II menjabat sebagai Ketua KPU, maka sudah menjadi konsekuensi yang melekat pada diri Pemohon II untuk menandatangani surat tersebut. Tindakan menerbitkan surat a quo juga tidak tepat jika dinyatakan sebagai pelanggaran kode etik.
“Pemohon II tidak dapat melakukan pengujian ke peradilan TUN atas keputusan KPU yang menindaklanjuti putusan DKPP Nomor 123/2020. Apabila Pemohon II melakukan upaya hukum atas tindak lanjut putusan DKPP Nomor 123/2020, maka itu sama dengan menggugat keputusannya sendiri (conflict of interest) karena keputusan tindak lanjut oleh KPU a quo ditetapkan berdasarkan Rapat Pleno KPU yang juga melibatkan Pemohon II sebagai salah satu pesertanya,” jelas Juendi Leksa Utama selaku kuasa hukum para Pemohon.
Selain kasus konkret, dalam permohonannya, Pemohon juga mendalilkan dengan keberadaan sifat final dan mengikat putusan DKPP, tugas penyelenggaraan pemilu yang diemban oleh Para Pemohon termasuk di dalamnya tugas untuk melakukan koordinasi, supervisi, dan arahan kepada KPU di daerah menjadi terkendala.
“KPU daerah yang secara hierarkis merupakan bawahan dari KPU dinilai lebih mendengarkan arahan DKPP karena takut mendapatkan sanksi daripada mengikuti arahan KPU yang notabene adalah atasannya langsung,” ujar Juendi.
Untuk itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu sepanjang frasa “putusan” sebagai conditionally constutional (konstitusional bersyarat) sepanjang dimaknai sebagai “keputusan” yang dapat diuji langsung ke peradilan Tata Usaha Negara.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta Pemohon memperbaiki alasan yang dinilainya belum menunjukkan kerugian konstitusional Pemohon. Pemohon meminta agar putusan DKPP ditiadakan, padahal DKPP merupakan lembaga peradilan yang menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
“Bagaimana kemudian format ke depannya kalau bajunya dari DKPP masih seperti itu, tapi tidak boleh kemudian menerbitkan putusan? Harus menerbitkan suatu keputusan. Sementara keputusan yang individual, konkret, dan final, itu formatnya berbeda, tidak bisa menguraikan seperti itu. Terus kalau ada pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, bagaimana menuangkannya? Kemudian, harus memanggil para pihak dan sebagainya semacam satu proses peradilan, begitu? Nah, ini saya tidak mendapatkan soal-soal seperti itu di dalam uraian terkait dengan Alasan Permohonan,” sebut Enny.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan agar para Pemohon mengelaborasi kedudukan hukum. Menurutnya, Pemohon I sudah tidak mengalami kerugian karena Pemohon I telah kembali menjabat sebagai Anggota KPU RI, meski harus membawa dulu Putusan DKPP ke PTUN.
“Untuk legal standing, menurut saya, supaya nanti bisa dielaborasi, supaya kami yakin. Kalau Bu Evi kan, faktualnya memang kemudian bisa duduk kembali dan dengan menggunakan produk dari presiden yang di-challenge. Nah, apakah itu kemudian bisa dilihat secara parsial bahwa ini kemudian tertutup secara utuh? Itu yang harus dijelaskan kepada kami. Sementara untuk Pak Arief juga begitu, apakah kemudian kalua ada produk yang mendefinitifkan pemberhentian itu kemudian tertutup untuk di-challenge ke peradilan tata usaha negara, sehingga apa yang diangkat hari ini, kemudian argumentasinya bisa diterima,” saran Suhartoyo.
Sedangkan Ketua Panel Saldi Isra meminta agar kasus konkret yang diuraikan Pemohon dalam kedudukan hukum, bukan alasan permohonan. “Jadi, kasus-kasus konkret itu lebih banyak digunakan untuk mendukung legal standing. Itu bukan berarti ketika menguraikan alasan-alasan mengajukan permohonan, kasus konkret tidak boleh dicontohkan. Boleh. Jadi, untuk menjelaskan kerugian kasus konkret itu lebih banyak diletakkan di legal standing,” papar Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan bahwa para pemohon diberi waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan. Perbaikan diterima MK pada Senin, 16 Agustus 2021. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : M. Halim