JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Kamis (17/6/2021). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah terhadap enam permohonan perkara pengujian UU Cipta Kerja. Enam perkara dimaksud yakni Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, 103/PUU-XVIII/2020, 105/PUU-XVIII/2020, 107/PUU-XVIII/2020, 4/PUU-XIX/2021, dan Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021. Sidang Pleno dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi para hakim konstitusi lainnya.
DPR diwakili Arteria Dahlan menanggapi enam permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja tersebut. Para Pemohon mendalilkan UU Cipta Kerja sebagai omnibus law bertentangan dengan ketentuan dan asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedudukan Hukum
Arteria menyampaikan keterangan mengenai kedudukan hukum para Pemohon dengan merujuk pada pertimbangan Putusan MK dalam Perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 4 Mei 2021 mengenai parameter kedudukan hukum pengujian formil. Dalam putusan tersebut, MK menetapkan syarat kedudukan hukum dalam pengujian formil yaitu Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan undang-undang yang dimohonkan.
Terkait kedudukan hukum para Pemohon, DPR memberikan pandangan sesuai dengan parameter pengujian formil yakni DPR pada intinya menyatakan secara keseluruhan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam pengujian formil UU Cipta Kerja. Karena secara keseluruhan para Pemohon tidak memiliki pertautan langsung dengan UU a quo. Selain itu, UU Cipta Kerja tidak hanya mengatur perubahan dari UU Ketenagakerjaan saja, melainkan mengatur perubahan 78 undang-undang yang para Pemohon harus dapat menguraikan keterkaitannya secara langsung dengan materi perubahan undang-undang yang diatur melalui UU Cipta Kerja.
Selanjutnya DPR memberikan pandangan umum terkait latar belakang filosofis, sosiologis dan juridis pembentukan UU Cipta Kerja. Menurut DPR, Cipta Kerja merupakan upaya negara untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. UU Cipta Kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif terhadap tuntutan globalisasi ekonomi. Dalam konteks mendukung lapangan pekerjaan tersebut diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai macam persoalan dalam beberapa undang-undang yang mengatur kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah peningkatan ekosistem investasi dan percepatan proyek strategis nasional.
Bila memperhatikan kondisi legislasi saat ini, ada banyak peraturan perundang-undangan yang over regulated, banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih, disharmoni antara peraturan dan rumitnya pembuatan peraturan perundang-undangan. Hal ini yang melandasi perlunya penerapan metode omnibus law dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan legislasi tersebut. Omnibus law sebenarnya sudah lama dipraktikkan di Indonesia. Namun istilah omnibus law tidak begitu popular digunakan, tegas Arteria.
Sementara itu, sebanyak 10 menteri selaku kuasa Pemerintah hadir secara daring yakni Menteri Koordinator Bidang Perekenomian Airlangga Hartarto, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muhammad Basuki Hadimuljono, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan A. Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Selain itu, turut hadir para Direktur Jenderal maupun Sekretaris Jenderal dari kementerian-kementerian yang hadir.
Airlangga Hartarto menyampaikan keterangan pendahuluan terkait enam perkara pengujian UU Cipta Kerja. Airlangga mengatakan negara wajib menetapkan kebijakan dan melakukan tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Terkait kedudukan hukum para Pemohon, Pemerintah memahami bahwa mengenai kedudukan hukum para Pemohon merupakan kewenangan Mahkamah.
Pemerintah berpandangan bahwa penerbitan UU Cipta Kerja justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, kepastian hukum, dan pemenuhan hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Para Pemohon sama sekali tidak terhalang-halangi dalam melaksanakan aktivitas maupun kegiatannya yang diakibatkan dengan berlakunya UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja justru akan menyerap tenaga kerja Indonesia seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Sehingga hak-hak konstitusional para Pemohon sama sekali tidak dikurangi, dihilangkan, dibatasi, dipersulit maupun dirugikan dengan berlakunya UU Cipta Kerja, urai Airlangga.
Menurut Pemerintah, pembentukan UU Cipta Kerja telah melalui prosedur dan tahapan sesuai dengan ketentuan. Hak-hak partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja telah terpenuhi dengan adanya partisipasi publik. Upaya pemerintah untuk penciptaan dan perluasan lapangan kerja sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lapangan kerja dalam rangka peningkatan kesejahteraan pekerja dan masyarakat tidaklah mudah. Pada saat RUU Cipta Kerja disusun, kita menghadapi berbagai tantangan yang menjadi hambatan dalam melakukan transformasi ekonomi sehingga belum optimal dalam menciptakan lapangan kerja.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019, dari jumlah 133,56 juta angkatan kerja, 89,96 juta orang bekerja penuh. Sedangkan 28,41 juta orang bekerja paruh waktu, dan 8,14 juta orang setengah penganggur dan 7,05 juta orang pengangguran. Pada sisi pendidikan, BPS melaporkan pada November 2019 porsi penduduk yang memiliki pendidikan tingkat SMP atau sederajat adalah 64,06% dan hanya 26,69% tamat SMA atau sederajat, lalu 9,26% tamat perguruan tinggi. Hal ini memerlukan upaya menciptakan lapangan kerja yang dapat menampung kondisi tersebut.
Uji Formil
Terkait pengujian formil UU Cipta Kerja dari enam perkara ini, Pemerintah menanggapi dalil-dalil para Pemohon. Pemerintah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan konstitusi dan tidak sesuai prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena menurut Pemerintah, UU Cipta Kerja telah melalui tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang terdiri dari tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap pembahasan, pengesahan, tahap pengundangan, hingga tahap penyebarluasan UU Cipta Kerja. Dengan demikian menurut Pemerintah, dalil para Pemohon tersebut tidak terbukti, tidak beralasan dan tidak berdasar atas hukum.
Pemerintah juga menampik dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder. Pemerintah dan DPR selalu melibatkan partisipasi masyarakat mulai dari tahap perencanaan hingga penyebarluasan UU Cipta Kerja. Transparansi informasi pembahasan antara Pemerintah dan DPR dalam bentuk video dapat dengan mudah diakses, antara lain melalui TV Parlemen dan platform Youtube. Selain itu, Pemerintah menghadiri undangan publik untuk kegiatan diskusi, dialog dan pembahasan terkait RUU Cipta Kerja dalam rangka memenuhi hak publik.
Berikutnya, Pemerintah membantah dalil para Pemohon yang menyatakan telah terjadi pelanggaran asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut Pemerintah, secara formil pembentukan UU Cipta Kerja sudah sesuai ketentuan Pasal 20 UUD 1945 dan UU No.12/2011.
Baca juga:
UU Cipta Kerja Digugat 662 Pekerja
Perbaikan Permohonan, Para Pemohon Uji UU Cipta Kerja Berkurang
Sebelumnya, R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya melakukan pengujian UU Cipta Kerja. Permohonan yang diregistrasi Nomor 4/PUU-XIX/2021 ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian undang-undang di MK.
Para Pemohon melalui tim kuasa hukumnya mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Secara formil, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan secara materiil, selain meminta MK menyatakan inkonstitusional ataupun inkonstusional bersyarat pada seluruh norma yang dipersoalkan, Pemohon juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga:
UU Cipta Kerja Dinilai Hilangkan Hak Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas Perkuat Alasan Uji UU Cipta Kerja
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Problem konstitusionalitas tersebut terkait dengan tidak terpenuhinya syarat pemuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dalam Prolegnas menurut ketentuan UU No. 12/2011, tidak dipedomaninya ketentuan mengenai teknik dan sistematika pembuatan undang-undang menurut ketentuan UU No. 12/2011, dan tidak dipenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut ketentuan UU No. 12/2011. Bahwa dimuatnya RUU No. 11/2020 dalam Prolegnas tidak bisa didasari atas rencana pembangunan jangka menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf f UU No. 12/2011 sebab Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hanya dapat disusun untuk menjangkau periode waktu 5 (lima) tahun.
Baca Juga:
Federasi dan Pekerja Industri Ujikan Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
FSPMI Perbaiki Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Berikutnya, para Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah Hakimi Irawan Bangkid Pamungkas (Pemohon I), Novita Widyana (Pemohon II), Elin Dian Sulistiyowati (Pemohon III), Alin Septiana (Pemohon IV) dan Ali Sujito (Pemohon V). Pemohon I pernah bekerja di perusahaan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai Technician Helper. Namun akibat pandemi Covid-19, ia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dari tempatnya bekerja. Dengan diberlakukan UU Cipta Kerja, terdapat ketentuan norma yang menghapus aturan mengenai jangka waktu PKWT atau Pekerja Kontrak sebagaimana Pasal 81 UU Cipta Kerja. Hal ini menghapus kesempatan warga negara untuk mendapatkan Perjanjian Kerja Tidak Tertentu atau Pekerja Tetap.
Sedangkan Pemohon II adalah Pelajar SMK Negeri I Ngawi, jurusan Administrasi dan Tata Kelola Perkantoran. Menurut kuasa hukum Pemohon, bahwa Pemohon II berpotensi menjadi pekerja kontrak dengan waktu tertentu tanpa ada harapan menjadi pekerja kontrak dengan waktu tidak tertentu, apabila UU Cipta Kerja diberlakukan. Pemohon III adalah mahasiswi pada program studi S1 Administrasi Pendidikan di Universitas Brawijaya dan Pemohon IV adalah mahasiswi pada program studi S1 Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Malang. Berikutnya, Pemohon V adalah mahasiswa pada program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Modern Ngawi (STIKP Modern Ngawi).
Baca Juga:
UU Cipta Kerja Dituding Jadikan Pendidikan sebagai Ladang Bisnis
Pemohon Uji UU Cipta Kerja Ajukan Permohonan Provisi
MK Gelar Sidang Pengujian UU Cipta Kerja
Pemohon Uji UU Cipta Kerja Sampaikan Perbaikan Permohonan
Permohonan Perkara Nomor 103/ PUU-XVIII/2020 diajukan Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto (Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Para Pemohon menguji secara formil Bab IV UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU Bab IV UU Bagian Kedua No. 11/2020 yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. Juga Pasal 57 ayat (1), Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Pasal 57 ayat (2), Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Baca juga:
Federasi Serikat Pekerja Tekstil Gugat UU Cipta Kerja
FSP TSK–SPSI Sampaikan Perbaikan Permohonan
Para Pemohon Perkara Nomor 105/PUU-XVIII/2020 adalah Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK - SPSI) Roy Jinto Ferianto selaku Pemohon I bersama 12 Pemohon lainnya. Para Pemohon melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja dan pengujian materiil Pasal 81 angka 1, Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 2, Pasal 14 ayat (1) angka 3, Pasal 37 ayat (1) huruf b angka 4, Pasal 42 angka 12, Pasal 56 ayat (3) dan ayat (4) angka 13, Pasal 57 angka 14, Pasal 58 ayat (2) angka 15, Pasal 59 angka 16, Pasal 61 ayat (1) huruf c angka 20, Pasal 66 angka 23, Pasal 79 ayat (2) huruf b angka 24, Pasal 88 angka 25, Pasal 88A ayat (7), Pasal 88B, Pasal 88C angka 30, Pasal 92 angka 37, Pasal 151 angka 38, Pasal 151A angka 42, Pasal 154A angka 44, Pasal 156 ayat (4) huruf c Bab IV Bagian Kedua UU Cipta Kerja.
Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja dibangun dengan landasan naskah akademik yang tidak memadai, tidak menjabarkan secara komprehensif analisa mengenai perubahan ketentuan dalam 79 (tujuh puluh sembilan) Undang-Undang khususnya UU No. 13/2003 dalam Bab IV Ketenagakerjaan Bagian Kedua Ketenagakerjaan, serta tidak mampu menjawab urgensi pentingnya dilakukan perubahan dalam UU No. 13/2003, naskah akademik UU 11/2020 seolah-olah hanya dirumuskan untuk memenuhi formalitas syarat pembentukan undang-undang semata.
Baca Juga:
Dianggap Inkonstitusional, 15 Badan Hukum Uji UU Cipta Kerja
15 Badan Hukum Perbaiki Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Permohonan Perkara Nomor 107 PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama 14 Pemohon lainnya. Para Pemohon juga melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja bertentangan dengan syarat formil pembentukan undang-undang dalam tahap perencanaan. UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan. UU Cipta Kerja tidak melalui pelibatan publik yang luas dalam prosesnya hanya melibatkan segelintir pihak saja. Bahkan draf RUU yang disampaikan kepada publik simpang siur alias kontroversial otentisitasnya.
Baca juga:
Pemerintah Tunda Beri Keterangan Uji UU Cipta Kerja
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.
https://youtu.be/uyXJuiO-Ctg