JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Kamis (10/6/2021). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah terhadap tujuh permohonan perkara pengujian UU Cipta Kerja. Tujuh perkara dimaksud yakni perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, 103/PUU-XVIII/2020, 105/PUU-XVIII/2020, 107/PUU-XVIII/2020, 4/PUU-XIX/2021, 5/PUU-XIX/2021, dan Nomor 6/PUU-XIX/2021.
Sidang Pleno MK ini dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan bahwa sidang pengujian UU Cipta Kerja akan memisahkan antara uji formil dengan uji materiil.
“Sidang hari ini dengan beberapa rangkaian setelahnya, hanya membahas soal keterpenuhan syarat formil proses pembentukan UU Cipta Kerja. Karena kami dibatasi oleh waktu sesuai dengan Putusan MK ketika memutus pengujian UU KPK. Uji formil ini akan diputus paling lama 60 hari kerja, terhitung dari sidang kita hari ini. Oleh karena itu, sidang ini sangat mungkin dilaksanakan setiap minggu. Oleh karena itu kami berharap, pemerintah dalam penyampaian keterangan hari ini menyampaikan keterangan terkait proses formil pembentukan UU Cipta Kerja mulai dari pengusulan, pembahasan, persetujuan bersama, pengesahan oleh Presiden dan proses pengundangan,” urai Saldi.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan bahwa masih dimungkinkan bagi pihak Pemerintah untuk melakukan konsolidasi terlebih dahulu mengenai keterangan yang berhubungan dengan pengujian formil. “Perlu dikonsolidasikan bukti. Pemerintah sudah menyampaikan kepada kami, bukti-bukti mulai dari rencana UU Cipta Kerja dan sebagainya, tapi belum terkonsolidasikan dengan baik sehingga pada persidangan kali ini belum dapat disahkan. Oleh karena itu kami minta dilakukan konsolidasi dari alat bukti ini,” tegas Arief.
Persidangan kali ini dihadiri secara daring oleh enam menteri selaku kuasa Pemerintah yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekenomian Airlangga Hartarto, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muhammad Basuki Hadimuljono. Hadir pula secara daring para Direktur Jenderal maupun Sekretaris Jenderal dari kementerian-kementerian yang hadir. Sedangkan DPR berhalangan hadir di persidangan karena berbarengan dengan agenda kegiatan di DPR.
Menteri Koordinator Bidang Perekenomian Airlangga Hartarto selaku perwakilan Pemerintah menyatakan menerima saran-saran yang disampaikan Hakim Konstitusi tersebut. Menurut Pemerintah, dengan adanya agenda uji formil saja, maka ada perbedaan materi yang akan disampaikan oleh Pemerintah.
“Materi yang disampaikan Pemerintah masih ada dua bagian, uji formil dan materiil, karena dari perkara-perkara yang diuji ini masih ada yang mencampurkan uji formil dan materiil. Guna mengkonsolidasikan uji materiil termasuk untuk melengkapi berkas terkait bukti, maka kami memohon kepada Yang Mulia agar Pemerintah diberikan waktu satu minggu untuk penundaan sidang,” kata Airlangga Hartarto kepada Majelis Hakim.
Baca juga:
UU Cipta Kerja Digugat 662 Pekerja
Perbaikan Permohonan, Para Pemohon Uji UU Cipta Kerja Berkurang
Sebelumnya, R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya melakukan pengujian UU Cipta Kerja. Permohonan yang diregistrasi Nomor 4/PUU-XIX/2021 ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian undang-undang di MK.
Para Pemohon melalui tim kuasa hukumnya mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Secara formil, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan secara materiil, selain meminta MK menyatakan inkonstitusional ataupun inkonstusional bersyarat pada seluruh norma yang dipersoalkan, Pemohon juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga:
UU Cipta Kerja Dinilai Hilangkan Hak Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas Perkuat Alasan Uji UU Cipta Kerja
Permohonan Perkara Nomor 5/PUU-XIX/2021 diajukan oleh Putu Bagus Dian Rendragraha (Pemohon I) dan Simon Petrus Simbolon (Pemohon II). Para Pemohon merupakan dua penyandang disabilitas. Dalam perkara ini, para Pemohon melakukan uji formil dan materiil Pasal 24 angka 4, Pasal 24 angka 13, Pasal 24 angka 24, Pasal 24 angka 28, Pasal 61 angka 7, Pasal 81 angka 15, dan Penjelasan Pasal 55 angka 3 UU UU Cipta Kerja terhadap UUD 1945.
Para Pemohon merasa dirugikan karena kehilangan perlakuan khusus dan kemudahan aksesibilitas Bangunan Gedung akibat berlakunya Pasal 24 angka 24 UU Cipta Kerja yang telah menghapus ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Selain itu, para Pemohon juga dirugikan oleh ketentuan Pasal 61 angka 7 UU Cipta Kerja yang telah mengubah ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf I Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Ketentuan Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja telah mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 55 angka 3 yang mengubah ketentuan penjelasan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas yang masih menggunakan frasa penyandang cacat.
Baca Juga:
Federasi dan Pekerja Industri Ujikan Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
FSPMI Perbaiki Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Problem konstitusionalitas tersebut terkait dengan tidak terpenuhinya syarat pemuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dalam Prolegnas menurut ketentuan UU No. 12/2011, tidak dipedomaninya ketentuan mengenai teknik dan sistematika pembuatan undang-undang menurut ketentuan UU No. 12/2011, dan tidak dipenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut ketentuan UU No. 12/2011. Bahwa dimuatnya RUU No. 11/2020 dalam Prolegnas tidak bisa didasari atas rencana pembangunan jangka menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf f UU No. 12/2011 sebab Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hanya dapat disusun untuk menjangkau periode waktu 5 (lima) tahun.
Baca Juga:
UU Cipta Kerja Dituding Jadikan Pendidikan sebagai Ladang Bisnis
Pemohon Uji UU Cipta Kerja Ajukan Permohonan Provisi
Berikutnya, para Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah Hakimi Irawan Bangkid Pamungkas (Pemohon I), Novita Widyana (Pemohon II), Elin Dian Sulistiyowati (Pemohon III), Alin Septiana (Pemohon IV) dan Ali Sujito (Pemohon V). Pemohon I pernah bekerja di perusahaan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai Technician Helper. Namun akibat pandemi Covid-19, ia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dari tempatnya bekerja. Dengan diberlakukan UU Cipta Kerja, terdapat ketentuan norma yang menghapus aturan mengenai jangka waktu PKWT atau Pekerja Kontrak sebagaimana Pasal 81 UU Cipta Kerja. Hal ini menghapus kesempatan warga negara untuk mendapatkan Perjanjian Kerja Tidak Tertentu atau Pekerja Tetap.
Sedangkan Pemohon II adalah Pelajar SMK Negeri I Ngawi, jurusan Administrasi dan Tata Kelola Perkantoran. Menurut kuasa hukum Pemohon, bahwa Pemohon II berpotensi menjadi pekerja kontrak dengan waktu tertentu tanpa ada harapan menjadi pekerja kontrak dengan waktu tidak tertentu, apabila UU Cipta Kerja diberlakukan. Pemohon III adalah mahasiswi pada program studi S1 Administrasi Pendidikan di Universitas Brawijaya dan Pemohon IV adalah mahasiswi pada program studi S1 Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Malang. Berikutnya, Pemohon V adalah mahasiswa pada program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Modern Ngawi (STIKP Modern Ngawi).
Baca Juga:
MK Gelar Sidang Pengujian UU Cipta Kerja
Pemohon Uji UU Cipta Kerja Sampaikan Perbaikan Permohonan
Permohonan Perkara Nomor 103/ PUU-XVIII/2020 diajukan Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto (Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Para Pemohon menguji secara formil Bab IV UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU Bab IV UU Bagian Kedua No. 11/2020 yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, “Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.” Juga Pasal 57 ayat (1), “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” Pasal 57 ayat (2), “Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.”
Baca juga:
Federasi Serikat Pekerja Tekstil Gugat UU Cipta Kerja
FSP TSK–SPSI Sampaikan Perbaikan Permohonan
Para Pemohon Perkara Nomor 105/PUU-XVIII/2020 adalah Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK - SPSI) Roy Jinto Ferianto selaku Pemohon I bersama 12 Pemohon lainnya. Para Pemohon melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja dan pengujian materiil Pasal 81 angka 1, Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 2, Pasal 14 ayat (1) angka 3, Pasal 37 ayat (1) huruf b angka 4, Pasal 42 angka 12, Pasal 56 ayat (3) dan ayat (4) angka 13, Pasal 57 angka 14, Pasal 58 ayat (2) angka 15, Pasal 59 angka 16, Pasal 61 ayat (1) huruf c angka 20, Pasal 66 angka 23, Pasal 79 ayat (2) huruf b angka 24, Pasal 88 angka 25, Pasal 88A ayat (7), Pasal 88B, Pasal 88C angka 30, Pasal 92 angka 37, Pasal 151 angka 38, Pasal 151A angka 42, Pasal 154A angka 44, Pasal 156 ayat (4) huruf c Bab IV Bagian Kedua UU Cipta Kerja.
Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja dibangun dengan landasan naskah akademik yang tidak memadai, tidak menjabarkan secara komprehensif analisa mengenai perubahan ketentuan dalam 79 (tujuh puluh sembilan) Undang-Undang khususnya UU No. 13/2003 dalam Bab IV Ketenagakerjaan Bagian Kedua Ketenagakerjaan, serta tidak mampu menjawab urgensi pentingnya dilakukan perubahan dalam UU No. 13/2003, naskah akademik UU 11/2020 seolah-olah hanya dirumuskan untuk memenuhi formalitas syarat pembentukan undang-undang semata.
Baca Juga:
Dianggap Inkonstitusional, 15 Badan Hukum Uji UU Cipta Kerja
15 Badan Hukum Perbaiki Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Permohonan Perkara Nomor 107 PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama 14 Pemohon lainnya. Para Pemohon juga melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja bertentangan dengan syarat formil pembentukan undang-undang dalam tahap perencanaan. UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan. UU Cipta Kerja tidak melalui pelibatan publik yang luas dalam prosesnya hanya melibatkan segelintir pihak saja. Bahkan draf RUU yang disampaikan kepada publik simpang siur alias kontroversial otentisitasnya.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana, Tiara Agustina, Raisa Ayudhita.
https://youtu.be/R--YfLlwuq8