JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini permohonan datang dari Riden Hatam Aziz (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia/FSPMI/Pemohon I), Suparno (Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Kabupaten/Kota Bekasi/Pemohon II), Fathan Almadani (Pekerja Kontrak PT Indonesi Epson Industry Cikarang/Pemohon III), dan Yanto Sulistianto (Karyawan Tetap PT Mahiza Karya Mandiri Tangerang/Pemohon IV).
Dalam persidangan yang digelar di MK pada Rabu (21/4/2021), Said Salahudin selaku salah satu kuasa hukum para Pemohon mengatakan berdasarkan kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945, Mahkamah wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan berpedoman pada UUD 1945. Dengan demikian, MK harus melihat seluruh bagian dari undang-undang sebagai satu kesatuan sistem yang tidak bpleh bertentangan satu dengan yang lainnya. Selain itu, para Pemohon dalam perkara ini juga mempertentangkan pembentukan UU Ciptaker dengan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (UU RPJPN); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Ketentuan aturan ini dijadikan batu uji berdasarkan pada Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011,” sampai Said dalam sidang perkara Nomor 6/PUU-XIXI/2021 yang diikuti para pihak secara virtual dari kediaman masing-masing.
Kejelasan Rumusan
Dalam pokok permohonan, para Pemohon juga mengutarakan bahwa pembentukan UU Ciptaker pada tahap penusunan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Seharusnya, dalam teknik penyusunan norma harus memenuhi persyaratan teknis dan sistematika penyusunan sebagaimana termuat dalam ketentuan Penjelasan Pasal 5 Huruf f Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Pada intinya, harus terdapat asas kejelasan rumusan mulai dari pilihan kata, istilah, dan bahasa hukum dalam menentukan penyusunan undang-undang. Sehingga, tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Selain itu, para Pemohon juga menlai pembentukan norma a quo harus pulalah bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh masyarakat mempunyai kesempatan yang luas untuk memberikan masukan dalam pembentukan suatu norma undang-undang. Sementara, dalam pembentukan norma a quo Pemerintah tidak bersedia membuka akses dalam rancangannya kepada publik. Pemerintah bersikap sangat tertutup dan menjadikan Naskah Akademik serta RUU Cipta Kerja sebagai dokumen rahasia yang harus dijauhkan dari jangkauan publik. Akibatnya, masyarakat mengalami pembatasan untuk mengakses RUU Cipta Kerja dan memberikan masukan kepada pemerintah.
Alat Bukti Lebih Representatif
Dalam nasihat Mahkamah, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan memperhatikan peraturan terbaru yang memuat tata beracara pengajuan pengujian UU terhadap UUD 1945 di MK. Selanjutnya, para Pemohon juga diminta untuk menyertakan alat bukti berupa lampiran pasal-pasal yang diajukan adalah terbitan dari media massa. Hal ini, sambung Wahiduddin, para Pemohon dapat memberikan alat bukti yang lebih representatif karena berkaitan dengan pengujian formil.
“Mungkin dokumen sulit diproses, tapi diusahakan untuk mendapatkan dokumen terkait dengan yang dimohonkan dalam pengujian ini,” sampai Wahiduddin.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati tenggang waktu dalam pengujian formiil UU a quo mengingat permohonan diajukan pada Desember 2020, sedangkan MK pada waktu tersebut dalam masa penanganan perkara hasil Pilkada Tahun 2020. “Sehingga nanti MK akan melakukan pengkajian akan penentuan waktu ini,” jelas Suhartoyo.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra mencermati perlunya para Pemohon memberikan bukti naskah-naskah yang disetujui dan perubahan yang terjadi saat disahkan. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi acuan bagi Mahkamah untuk mengetahui perkembangan dari bukti proses formil pembentukan UU a quo.
“Jadi sangat mungkin bagi para Pemohon untuk menyampaikan bukti-bukti jika dalil yang disampaikan itu benar. Jadi, dalam tahapan itu ada apa saja pelanggaran-pelanggarannya,” jelas Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan para Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonannya. Untuk kemudian pada Rabu, 4 Mei 2021 sebelum pukul 10.00 WIB dapat menyerahkan perbaikan tersebut pada Kepaniteraan MK.
Penulis : Sri Pujianti.
Editor: Nur R.