JAKARTA, HUMAS MKRI - Putu Bagus Dian Rendragraha (Pemohon I) dan Simon Petrus Simbolon (Pemohon II) merupakan dua penyandang disabilitas yang melakukan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon melakukan pengujian formil dan materiil Pasal 24 angka 4, Pasal 24 angka 13, Pasal 24 angka 24, Pasal 24 angka 28, Pasal 61 angka 7, Pasal 81 angka 15, dan Penjelasan Pasal 55 angka 3 UU Ciptaker terhadap UUD 1945.
Para Pemohon sebagai penyandang disabilitas merasa dirugikan akibat berlakunya UU Ciptaker. Misalnya, para Pemohon kehilangan perlakuan khusus dan kemudahan aksesibilitas Bangunan Gedung akibat berlakunya Pasal 24 angka 24 UU Ciptaker yang telah menghapus ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Kemudian, ketentuan Pasal 61 angka 7 UU Ciptaker yang telah mengubah ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf I Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Ketentuan Pasal 81 angka 15 UU Ciptaker telah mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 55 angka 3 yang mengubah ketentuan penjelasan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas yang masih menggunakan frasa penyandang cacat.
Menurut para Pemohon, norma-norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Kemudahan Aksebilitas Bangunan Gedung
MK menggelar sidang perdana permohonan tersebut pada Rabu (21/4/2021). Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 5/PUU-XIX/2020 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra yang didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Suhartoyo sebagai anggota.
Dalam persidangan, hadir Eliadi Hulu sebagai perwakilan kuasa hukum para Pemohon. Saat menjabarkan pokok permohonan, Eliadi menyebutkan Pasal 24 angka 4 UU Ciptaker yang telah menghapus ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 24 angka 13 UU Ciptaker yang menghapus ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
“Berikutnya Pasal 24 angka 24 yang menghapus ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 24 angka 28 yang menghapuskan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,” sebut Eliadi yang hadir dalam sidang tanpa dihadiri oleh para Pemohon.
Menurut para Pemohon, norma-norma tersebut telah menghilangkan hak penyandang disabilitas dalam memperoleh kemudahan aksebilitas bangunan gedung dan kehilangan perlakuan khusus serta kehilangan perlakuan yang adil dari negara. Sederhananya, banyak bangunan gedung yang tidak menyediakan fasilitas dan kemudahan aksebilitas bagi penyandang disabilitas.
Sulit Mendapatkan Pekerjaan
Berikutnya para Pemohon mengutarakan bahwa Pasal 81 angka 15 UU Ciptaker telah mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Norma ini dinilai merugikan para Pemohon karena kategori pekerjan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama termasuk ke dalam pekerjaan yang didasarkan pada perjanjian kerja dalam waktu tertentu (PKWT).
Selain itu, pasal tersebut tidak memberikan batasan dan kepastian hukum yang jelas terkait lamanya pekerjaan sehingga berpotensi pada pekerjaan yang lama penyelesainnya lebih dari tiga tahun digolongkan sebagai pekerjaan yang dperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama sehingga bisa didasarkan pada PKWT. Akibatnya, hal ini mempersempit kesempatan para Pemohon untuk bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT/pekerja tetap). Hal ini mengingat kondisi para Pemohon termasuk sulit mendapatkan pekerjaan karena keterbatasannya karena pengusaha cenderung lebih mengutamakan pekerja yang lebih sempurna secara fisik dan mental.
Jika ada pembatasan waktu terkait jenis pekerjaan tertentu yang penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama pada Pasal a quo hasil perubahan, maka para Pemohon berpotensi mejadi pekerja kontrak dalam waktu lebih dari tiga tahun dan bahkan seumur hidup. Hal ini mengarah pada eksploitasi manusia yang berakibat pada perbudakan. Sehingga hal ini bertentangan d negan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention of the Rights of Persons with Disabilities.
Sistematika Permohonan
Menyikapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihatnya mengatakan perlu diperhatikan sistematika permohonan terutama pengelompokan isu yang diangkat yang bertalian dengan pokok perkara dan norma yang diujikan. Hal ini untuk memudahkan Hakim dalam memeriksa perkara a quo. Berikutnya, dalam Petitum para Pemohon, Wahiduddin menyasarankan agar disempurnakan sesuai dengan format yang telah ada sebelumnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati agar para Pemohon membuat permohonan lebih sederhana sehingga hal-hal atau uraian yang tidak esensi tidak perlu disertakan. Mengingat permohonan ini bukan hanya dikonsumsi hakim di MK, tetapi juga masyarakat luas.
“Sampaikan permohonan secara sederhana, mudah dipahami, dan semangat serta pesannya tersampaikan dalam narasi permohonan,” jelas Suhartoyo.
Selain itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo juga menyarankan para Pemohon memperjelas persoalan konstitusionalitas norma. Apakah norma yang diujikan berkaitan dengan penempatan dari norma yang tidak tepat dalam UU Ciptaker atau benar-benar ada hal inkonstitusional yang perlu dikaji secara cermat. Berikutnya, para Pemohon juga diminta untuk memberikan uraian mengenai dampak hukum yang akan muncul apabila permohonan para Pemohon dikabulkan Mahkamah.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra menyoroti permohonan para Pemohon sehubungan dengan pengujian formil UU Ciptaker yang diajukan untuk memberikan penjelasan konkret dengan proses pembentukan undang-undang, mulai dari pelanggaran formal yang terjadi pada tahap demi tahap penyusunan norma a quo.
“Misalnya apa saja pelanggaran formal yang terjadi atau bagaimana partisipasi masyarakat dan barulah dipaparkan UU lain yang dapat dijadikan batu uji serta Tatib dari pengajuan pembentukan UU a quo,” jelas Saldi.
Usai memberikan nasihat untuk kesempurnaan permohonan, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan para Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya 14 hari untuk melakukan perbaikan. Untuk kemudian pada Rabu, 4 Mei 2021 sebelum pukul 10.00 WIB dapat menyerahkan perbaikan tersebut pada Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti
Humas: Tiara Agustina
Editor: Nur R.