JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diajukan oleh 15 badan hukum, di antaranya Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Indonesia Human Right Comitte For Social Justice (IHCS). Sidang kedua untuk perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020 ini berlangsung pada Senin (19/4/2021) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri oleh para Pemohon melalui daring.
Agenda sidang adalah perbaikan permohonan. Imelda selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan sejumlah perbaikan berdasarkan saran dari Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra. Salah satu perbaikan yakni menambah rujukan pasal dalam AD-ART terkait dengan kapasitas atau kewenangan pengurus/pejabat yang berhak mewakili organisasi dalam proses hukum.
Baca juga: Dianggap Inkonstitusional, 15 Badan Hukum Uji UU Cipta Kerja
Selain itu, Imelda melanjutkan para Pemohon juga menguraikan mengenai pembentukan UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak dikenal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. “Yang sudah kami perbaiki dalam bentuk subbab tahap perencanaan, tahap penyusunan, dan tahap pengesahan,” jelasnya.
Berikutnya bagian petitum. Imelda menyatakan, para Pemohon meminta agar UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat serta bertentangan dengan UUD 1945.
Menanggapi sejumlah perbaikan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan permohonan akan diajukan ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). “Permohonan akan disampaikan kepada ke RPH dan akan dihadiri oleh Sembilan hakim konstitusi. Sembilan hakim yang akan memutuskan apa permohonan ini akan dilanjutkan ke pembuktian atau cukup diputuskan oleh Mahkamah tanpa pembuktian. Mohon Saudara bersabar,” urai Saldi.
Sebelumnya, pada sidang perdana (8/12/20), para Pemohon mendalilkan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 20 dan Pasal 22A UUD 1945 karena tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 158, Pasal 161, Pasal 162, Pasal 164 Tatib DPR 1/2020 dan Pasal 72 UU 12/2011. Pemohon menilai akibat tim perumus RUU Cipta Kerja belum menyelesaikan naskah RUU, maka tim sinkronisasi tidak bisa melakukan penyelarasan rumusan RUU yang disusun oleh tim perumus. Seharusnya naskah RUU hasil sinkronisasi tersebutlah yang kemudian akan dilaporkan kepada rapat panitia kerja untuk selanjutnya diambil keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 Tatib DPR 1/2020.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 162 Tatib DPR 1/2020, rumusan RUU hasil dari keputusan Rapat Panitia Kerja tersebut, harus dibacakan dan disepakati setiap kata, frasa, tanda baca yang tercantum dalam pasal-pasal maupun penjelasan. Apabila rumusan RUU Cipta Kerja telah disepakati bersama secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Selanjutnya, naskah RUU tersebut akan diambil keputusan akhir pada akhir Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada Pasal 163 Tatib DPR 1/2020 dengan salah satu caranya dengan membacakan naskah rancangan undang-undang. Menurut para Pemohon, naskah RUU yang sudah disepakati bersama oleh DPR dengan Presiden tidak boleh lagi ada yang diubah bahkan disentuh. Akan tetapi, faktanya telah terjadi beberapa perubahan substansi dalam naskah RUU tersebut yang disetujui bersama antara DPR dengan Presiden. (*)
Penulis: Lulu Anjarsari P
Editor: Nur Rosikin
Humas: Tiara Agustina