JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) digelar secara daring di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (19/4/2021) siang. Pemohon Perkara 103/PUU-XVIII/2020 ini melalui tim kuasa hukum Harris Manalu dkk menyampaikan tiga hal yang diperbaiki yaitu perbaikan permohonan, surat kuasa, dan alat bukti.
“Sebelumnya, Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto (para Pemohon) selaku pemberi kuasa, telah diperbaiki menjadi organisasi atau badan hukum bernama Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) sebagai pemberi kuasa. Dalam surat kuasa, kami juga telah mencantumkan seluruh pasal, sebanyak 54 pasal, yang kami persoalkan dalam pengujian undang-undang ini. Atau setidak-tidaknya 27 pasal dalam UU Cipta Kerja ini,” jelas Harris Manalu kepada Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo (ketua panel), Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. FoEkh (masing-masing sebagai anggota).
Selanjutnya dalam permohonan, yang sebelumnya disebutkan adanya Pemohon I dan Pemohon II, diubah menjadi hanya Pemohon. Tidak ada lagi Pemohon I dan Pemohon II. Dalam hal ini, KSBSI yang menjadi Pemohon. Sedangkan dalam Kewenangan Mahkamah, Pemohon antara lain menambahkan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK.
Berikutnya, dalam kedudukan hukum Pemohon, kerugian konstitusional Pemohon telah diuraikan lebih rinci lagi, seperti diatur sejumlah pasal dalam UUD 1945. Misalnya mengenai kerugian untuk berserikat dan berkumpul dan menyampaikan pendapat, kerugian bebas dari perlakuan diskriminatif, dan lainnya.
Kemudian dalam alasan pengujian formil, Pemohon mencantumkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pemohon juga menambahkan ketentuan-ketentuan yang disimpangi atau tidak dipenuhi dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja. Di samping perbaikan permohonan yang telah disebutkan tadi, Pemohon juga melakukan perbaikan alat bukti dengan menambahkan 10 bukti.
Baca Juga:
MK Gelar Sidang Pengujian UU Cipta Kerja
Sebelumnya, pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diajukan oleh Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto (Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Pemohon melalui tim kuasa hukumnya melakukan pengujian formil Bab IV UU Cipta Kerja dan pengujian materiil Bab IV Bagian Kedua UU Cipta Kerja, yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, “Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.” Juga Pasal 57 ayat (1), “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” Pasal 57 ayat (2), “Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.” Kemudian Pasal 59 ayat (1), “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; c. pekerjaan yang bersifat musiman; d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.”
Menurut para Pemohon, muatan materi Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena mengurangi, mendegradasi hak-hak asasi pekerja dan serikat pekerja dari yang sudah diatur dalam UU No. 13/2003, serta bertentangan dengan filosofi Pancasila, serta secara sosiologis muatan materinya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pekerja/buruh, dan menimbulkan kekosongan hukum di bidang hubungan industrial. Selain itu, materi muatan tersebut bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia dan sejumlah instrumen hukum internasional seperti Konvensi ILO dan DUHAM.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.