JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi narasumber “Webinar Nasional: Tantangan Konstitusionalisme dan Negara Hukum dalam Masyarakat Demokratis,” pada Jumat (18/12/2020) siang. Kegiatan ini diselenggarakan secara virtual oleh Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga, kolaborasi bersama lima fakultas hukum, yaitu FH Trunojoyo Madura, FH Universitas Haluoleo, FH Universitas Mulawarman, FH Universitas Nusa Cendana, dan FH Universitas Borneo Tarakan.
Anwar menjelaskan, perubahan UUD 1945 pada 1999-2002 yang melahirkan Mahkamah Konstitusi merupakan momentum yang tepat untuk membangun peradaban dan ketatanegaraan Indonesia menuju negara hukum yang konstitusional. Konstitusi sebagai hukum dasar negara, the supreme law of the land haruslah menjadi landasan dan pedoman bagi seluruh elemen dalam menjalankan roda organisasi bernegara.
“Tidak boleh ada sedikit pun, alasan apapun untuk tidak mentaati konstitusi. Jika konstitusi tidak ditaati, maka pondasi negara akan rapuh karena konstitusi merupakan hukum dasar negara. Sebaliknya jika konstitusi dipegang teguh, maka kokohlah pondasi negara,” tegas Anwar.
Anwar menuturkan, seorang pakar konstitusi bernama Otto Kirchheimer dari Jerman mengatakan bahwa suksesnya suatu revolusi atau perubahan masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari konstitusi. Revolusi atau perubahan masyarakat berelasi dengan ikhtiar untuk membangun peradaban dan ketatanegaraan sebuah negara. Tanpa konstitusi tidaklah mungkin sebuah peradaban, keadaban, dan keteraturan tata kelola negara dapat terlaksana. Karena konstitusilah yang menjadi rule of the game bagi penyelenggaraan negara.
Lebih dari itu, sambung Anwar, dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis, secara alamiah masyarakat yang memiliki jumlah lebih besar akan mendominasi terhadap jalannya roda ketatanegaraan baik secara struktur maupun terhadap substansi. Padahal penegakan hukum dan supremasi konstitusi tidak mengenal dominasi mayoritas ataupun sebaliknya, tirani minoritas. Esensi penegakan hukum dan supremasi konstitusi, haruslah diarahkan kepada terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
“Oleh karena itu prinsip kesamaan di hadapan hukum dan sistem peradilan yang transparan, menjadi kunci untuk terwujudnya sebuah keadilan. Yang jadi tantangan konstitusionalisme suatu negara hukum yang demokratis adalah perkembangan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat serta kondisi pandemi saat ini yang tengah melanda,” papar Anwar.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat akhir-akhir ini, setidaknya menimbulkan dua dampak yaitu bercampur antara informasi yang baik dan buruk atau yang benar dengan yang salah (era post truth) serta berubahnya tatanan sosial dalam berbagai bidang yang sudah mapan (era distrust).
“Pada era yang sering disebut post truth, masyarakat diombang-ambingkan dengan beberapa informasi dari berbagai media. Perkembangan pesat terutama terjadi pada media digital, yang dapat memberikan informasi sangat cepat bahkan real time. Informasi ini boleh jadi benar, namun jika disampaikan dalam narasi yang bersifat subjektif dan ditempatkan pada objek yang bukan sesungguhnya, dapat menyesatkan publik dan dapat berdampak pada public distrust atau public disorder,” ungkap Anwar.
Kondisi faktual seperti ini, kata Anwar, berimplikasi pada penegakan konstitusi yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara di bidang kekuasaan kehakiman atau lembaga peradilan. Sebuah putusan pengadilan tidak akan pernah mampu memuaskan semua pihak. Bagi mereka yang diuntungkan oleh putusan tersebut, tentu merasa adil. Tetapi, bagi mereka yang merasa dirugikan, merasa jauh dari keadilan.
“Penyesatan informasi terhadap putusan pengadilan dapat menyebabkan terjadinya public disorder dan public distrust terhadap lembaga peradilan. Jika terjadi hal demikian maka untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis menjadi sulit terwujud,” ucap Anwar.
Dalam rangka penguatan konstitusionalisme guna menegakkan hukum yang demokratis, Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir konstitusi dalam setiap putusannya. Tafsir konstitusi tersebut dalam rangka memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian undang-undang. Kesemuanya bermuara kepada upaya atau ikhtiar untuk menegakkan konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
“Yang terpenting dalam melahirkan sebuah putusan MK, setidaknya harus melalui dua hal yaitu proses yang transparan dan putusan diambil berdasarkan fakta objektif yang terungkap dalam persidangan,” tandas Anwar.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.