JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Rabu (16/12/2020). Permohonan perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Dalam persidangan yang dilakukan secara daring ini, hadir tim kuasa hukum para Pemohon, Harris Manalu dkk.
Harris Manalu menyampaikan, para Pemohon melakukan pengujian formil Bab IV UU Cipta Kerja dan pengujian materiil Bab IV Bagian Kedua UU Cipta Kerja, yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, “Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.” Juga Pasal 57 ayat (1), “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” Pasal 57 ayat (2), “Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.” Kemudian Pasal 59 ayat (1), “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; c. pekerjaan yang bersifat musiman; d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.”
“Permohonan ini mencakup pengujian formil dan pengujian materiil Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pengujian materiil berjumlah 56 pasal pada Bab IV Undang-Undang Cipta Kerja yang terdiri dari 52 pasal pada bagian kedua tentang ketenagakerjaan, yaitu Pasal 81 Undang-Undang Cipta Kerja. Dan 4 pasal pada bagian kelima tentang perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yaitu Pasal 84 Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Harris Manalu.
Selanjutnya, secara bergantian tim kuasa hukum para Pemohon membacakan alasan pengujian formil. Menurut para Pemohon, isu pembentukan UU Cipta Kerja telah dimulai sejak Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato usai pelantikan menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan KADIN untuk Konsultasi Publik Omnibus Law oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dari Satgas tersebut seluruh pihak yang berkepentingan temasuk para pekerja/buruh dan pimpinan-pimpinan serikat pekerja/serikat buruh nasional keberatan atas tidak adanya unsur pekerja/buruh atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh dalam Satgas. Padahal telah beredar berbagai informasi dari berbagai pejabat pemerintahan bahwa Undang-Undang yang akan diubah dan dihapus melalui metode omnibus law adalah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah mengatur syarat-syarat kerja, hak-hak dan kewajiban buruh/serikat buruh dengan pengusaha (majikan).
Pemerintah mengundang berbagai pimpinan/pengurus konfederasi maupun federasi serikat pekerja/serikat buruh, yang dalam undangan selalu disebut “Pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja”. Namun yang dipaparkan oleh pihak pemerintah bukan isi/bunyi pasal-pasal yang hendak diubah dan/atau dihapus.
Selain itu, tim kuasa hukum para Pemohon menyampaikan, pemerintah dan DPR terkesan terburu-buru mempersiapkan, membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja, sehingga baik dari segi formil maupun dari segi substansi UU a quo mengandung sejumlah masalah.
“Undang-undang a quo dibuat secara tergesa-gesa yang menimbulkan kontroversial seperti Pasal 6 menuju Pasal 5 ayat 1 huruf a, tapi di Undang-Undang Cipta Kerja tidak ditemukan di mana keberadaan Pasal 5 ayat (1) huruf a dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah masih menghapus dan/atau mengubah norma atau pasal RUU yang sudah disetujui bersama DPR dan pemerintah,” kata Paruli Sianturi, kuasa hukum Pemohon.
Selain itu, jumlah halaman naskah RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR bersama pemerintah menjadi Undang-Undang Cipta Kerja masih berubah-ubah. Pembahasan dan pengesahan UU tersebut tersebut oleh DPR dan pemerintah yang seharusnya sama di tanggal 8 Oktober 2020 dipercepat menjadi tanggal 5 Oktober 2020.
Mengenai alasan pengujian materiil, menurut para Pemohon, muatan materi Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena mengurangi, mendegradasi hak-hak asasi pekerja dan serikat pekerja dari yang sudah diatur dalam UU No. 13/2003, serta bertentangan dengan filosofi Pancasila, serta secara sosiologis muatan materinya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pekerja/buruh, dan menimbulkan kekosongan hukum di bidang hubungan industrial. Selain itu, materi muatan tersebut bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia dan sejumlah instrumen hukum internasional seperti Konvensi ILO dan DUHAM.
Secara sosiologis, terang Paruli, materi muatan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat buruh. Landasan sosiologis UU Cipta Kerja sebagaimana termuat dalam Bagian Kelima huruf c tersebut untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Namun, dengan membaca dan menyimak substansi UU yang diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat dalam UU Cipta Kerja, khususnya Bab IV Bidang Ketenagakerjaan, justru sebaliknya, bukan meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja/buruh, tapi mengurangi dan bahkan menghilangkan jaminan dan perlindungan, dan kesejahteraan
buruh.
“Sehingga antara landasan sosiologis dan substansi norma atau ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja kontradiksi,” terang Paruli.
Kemudian secara yuridis, materi muatan UU Cipta Kerja tidak menyelesaikan masalah-masalah ketenegakerjaan dan hubungan industrial. “Tapi justru menambah masalah, yaitu terjadi kekosongan hukum,” tegasnya.
Dalam petitum, antara lain para Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja, khususnya Bab IV tentang Ketenagakerjaan tidak memenuhi ketentuan UU berdasarkan UUD 1945. Kemudian menyatakan Bab IV UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kerugian Konstitusional Lebih Rinci
Terhadap permohonan yang diajukan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mencermati perihal kerugian konstitusional para Pemohon. “Terkait kerugian konstitusional yang Saudara alami, harus dijelaskan betul secara rinci. Karena yang hadir saya lihat juga advokat berbakat semua dan mungkin sudah beberapa kali menjadi kuasa hukum atau mungkin ada yang pernah jadi Pemohon di MK yang mengetahui pedoman dalam menyusun permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Yang lainnya, bisa dikelompokkan pengujian formilnya yang mana? Materiilnya betul-betul dicermati, jangan tidak konsisten antara posita, lalu petitum,” ujar Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan catatan terhadap identitas para Pemohon. “Ini nanti coba dicermati, apakah yang mengajukan permohonan ini, Ibu Elly Rosita Silaban dan Pak Dedi Hardianto? Mau diajukan sebagai Pemohon atau mau diajukan sebagai badan hukum? Nah, kalau misalnya mewakili KSBSI, maka nanti bukan antara keduanya, Ibu Elly Rosita Silaban dan Pak Dedi Hardianto ini. Itu tidak akan disebut sebagai para Pemohon kalau mereka mewakili konfederasi. Karena di dalam uraian ini semua ditulis para Pemohon. Jadi sebenarnya yang diwakili ini apakah perseorangan atau mewakili konfederasi? Itu harus jelas,” kata Daniel.
Sedangkan Ketua Panel Suhartoyo menyoroti kedudukan hukum para Pemohon. “Poin yang dibacakan untuk legal standing itu lebih dari 10. Padahal di sini cuma hanya sampai 9,” ujar Suhartoyo.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha
https://youtu.be/YfaTtpjengk