JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian formil dan materill Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Rabu (16/12/2020) secara virtual. Perkara yang teregistrasi Nomor 105/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PPFSP TSK-SPSI) bersama dengan 12 Pemohon perseorangan yang berprofesi sebagai karyawan swasta dari berbagai pabrik tekstil yang ada di Jawa Barat.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto selaku Ketua Panel dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra, para Pemohon mendalilkan beberapa yang pasal dinilai bertentangan dengan UUD 1945, di antaranya Pasal 13 angka 1, Pasal 14 angka 2, Pasal 37 angka 3, hingga Pasal 156 ayat (4) angka 44 UU Cipta Kerja.
Roy Jinto Ferianto selaku salah satu Pemohon mengatakan bahwa sehubungan dengan pengujian formil, Pemohon mendalilkan tidak dilibatkan dalam tahapan perencanaan, penyusunan, dan pengesahan UU Cipta Kerja. Pemohon menilai penyusunan UU Cipta Kerja hanya melibatkan organisasi pengusaha saja.
Selanjutnya, para Pemohon juga melihat bahwa draf rancangan UU Cipta Kerja dalam pembahasannya di Baleg tidak pernah melibatkan para Pemohon secara resmi. Kemudian pada 25 September 2020, Pemerintah telah mengajukan perubahan draf rancangan undang-undang ini, di antaranya Bab IV Ketenagakerjaan pada Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83. “Dalam hal ini, para Pemohon juga mencermati sebagian pasal pada Bab IV Ketenagakerjaan ini tidak memiliki legal reasoning atau tidak pernah dibahas dalam naskah akademik,” jelas Roy Jinto.
Persoalan Ketenagakerjaan
Sementara itu, berkaitan dengan pengujian materiil atas perkara UU Cipta Kerja, para Pemohon berfokus pada Bab IV Ketenagakerjaan bagian kedua yang dinilai mengandung banyak kesalahan yang menabrak asas fundamental dan norma konstitusional. Di samping itu, bab tersebut juga dinilai tidak substantif menjawab persoalan ketenagakerjaan dan bahkan tidak berorientasi pada perlindungan dan peningkatan kesejahteraan pekerja atau buruh.
Sebagai contoh, dalam permohonan para Pemohon mennguraikan bahwa ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Cipta Kerja memuat ketidakjelasan mengenai pelatihan kerja perusahaan. Di dalamnya tidak menjelaskan secara jelas kewenangan pihak yang mendapatkan pelatihan dari lembaga pelatihan kerja perusahaan. Atas hal ini, para Pemohon menilai ketentuan norma tersebut berpotensi pada eksploitasi terhadap pencari kerja dan dimanfaatkan oleh perusahaan dengan dalih pelatihan kerja dilakukan di area produksi perusahaan, namun tidak ada hubungan kerja antara perusahaan dengan peserta pelatihan kerja. Dengan demikian, tidak ada kewajiban perusahaan untuk membayarkan sejumlah upah pada tenaga kerja yang dimaksud. Oleh karena itu, para Pemohon beranggapan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Kedudukan Hukum
Menyikapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Manahan mencermati kedudukan hukum para Pemohon yang perlu ketegasan antara uji formil dan materil yang harus dipisahkan penjabarannya. Kendati memenuhi syarat untuk mengajukan diri sebagai Pemohon, namun Manahan meminta agar perlu dijelaskan lagi kedudukan hukum masing-masing Pemohon sesuai dengan statusnya sebagai federasi dan perseorangan warga negara.
Selain itu, Manahan juga mencermati dalam alasan permohonan seharusnya terdapat bagian yang menunjukkan dasar pengujian dari permohonan tersebut. Di dalam uraian tersebut, sambung Manahan, akan terlihat hak konstitusional para Pemohon yang terlanggar oleh adanya norma yang diujikan tersebut. “Di dalam bagian ini menjadi terlihat nantinya pertengannya dengan UUD 1945,” sebut Manahan.
Kualitas Pemohon
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi mendapati bahwa struktur pemohonan yang diajukan para Pemohon dalam perkara ini terlalu panjang karena seharusnya dapat dibuat secara sederhana. “Dalam permohonan ini tidak perlu ada pendahuluan dan ada pula bagian dari yang dijelaskan yang tidak relevan lagi dengan konteks permohonan. Jadi dalam struktur permohonan, ini tolong diperbaiki,” nasihat Saldi.
Berikutnya Saldi juga mengatakan bahwa dikarenakan pengujian yang dimohonkan adalah uji formil dan materiil, sehingga bagian yang menjadi catatan penting adalah legal standing para Pemohon. Saldi mengungkapkan bahwa MK tidak melarang Pemohon dalam jumlah yang banyak, tetapi hal yang terpenting bukan perihal kuantitas Pemohon namun lebih kepada ketepatan dari menjabarkan legal standing para Pemohon yang terkait dengan pengajuan permohonan.
“Jadi bukan pada kuantitas, tetapi kualitas Pemohon. Misalnya satu mewakili organisasi dan dua atau tiga orang mewakili perseorangan warga negara. Jika seperti ini, maka akan banyak sekali yang harus dijelaskan karena per satu-satu Pemohon harus didetailkan kedudukan hukumnya,” jelas Saldi.
Selanjutnya, Wakil Ketua MK Aswanto dalam nasihatnya mengawali dengan mempertanyakan keabsahan tanda tangan yang dibubuhi pada surat kuasa dan permohonan yang tampak berbeda. Atas hal ini, para kuasa Pemohon diminta untuk mencermati secara baik dan hati-hati karena jika terbukti terjadi pemalsuan tanda tangan, maka perkara dapat saja dihentikan karena telah terjadi kecurangan yang tidak dapat dibenarkan.
Selain itu, Aswanto juga meminta agar permohonan Pemohon cukup menguraikan dengan hal yang mudah dipahami dengan adanya suatu norma. Sebagai contoh Aswanto mengilustrasikan dengan menyebutkan Petitum para Pemohon yang meminta Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Ciptaker dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Seharusnya, jelas Aswanto, Pemohon harus melihat pada konstitusi keberadaan pasal a quo yang dinilai merugikan pihaknya, baik secara faktual ataupun potensial.
“Ini harus diuraikan dan jadi tidak perlu sampai 120 halaman. Biar tidak bias dan cukup fokus. Selain itu jelaskan jika permohonan ini dikabulkan, maka kerugian yang ada tidak akan terjadi lagi. Ini yang belum tampak dalam permohonan ini,” tegas Aswanto.
Sebelum menutup persidangan, Aswanto menyampaikan agar para Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 29 Desember 2020, pukul 14.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana
https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16841