JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Kamis (19/11/2020). Permohonan yang teregistrasi Nomor 100/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh R. Violla Reinida Hafidz (Pemohon I), M. Ihsan Mualana (Pemohon II), Rahmah Mutiara (Pemohon III), Korneles Materay (Pemohon IV), Beni Kurnia Ilahi (Pemohon V), Giri Ahmad Taufik (Pemohon VI), dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh (Pemohon VII).
Kurnia Ramadhana selaku salah satu kuasa para Pemohon menyebutkan lingkup pengujian perkara a quo meliputi uji formil pembentukan UU MK, yakni Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1). Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK. Keseluruhan norma tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam alasan pengujian formil norma ini Kurnia mengungkapkan, pembentuk undang-undang melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Revisi UU MK ini juga tidak memenuhi syarat carry over, pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka. Proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan tidak melibatkan publik. Revisi UU MK berdasar hukum undang-undang yang invalid.
Sedangkan untuk pengujian materil, lanjut Kurnia, para Pemohon mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkmah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul. Selain itu, sambung Kurnia, para Pemohon juga mendalilkan penafsiran konstitusional terhadap sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam Pasal 19 UU MK beserta Penjelasannya dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Ditambahkan oleh Kurnia bahwa Pemohon juga mempersoalkan penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi.
Berikutnya, Violla Reinida selaku Pemohon I sekaligus kuasa hukum mengungkapkan dalam alasan permohonan bahwa penyusunan dan pembahasan revisi UU a quo mengingkari empat asas pembentukan perarturan perundang-undangan, yakni asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
“Jika revisi UU MK ini dikaitkan dengan kebutuhan kelembagaan MK, pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah hakim konstitusi yang menjabat saat ini memiliki kebutuhan perpanjangan masa jabatan. Sebab, jika merujuk pada Pasal 87 UU MK, hal tersebut ditujukan bagi hakim incumbent. Sehingga memungkinkan adanya potensi conflict of interest antara pembentuk undang-undang dengan hakim konstitusi,” jelas Violla terhadap permohonan para Pemohon yang berprofesi sebagai peneliti dan dosen seta tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi.
Violla juga mengungkapkan di hadapan Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul bahwa pembentukan UU MK ini juga dinilai melangkahi asas keterbukaan dengan menutup kanal bagi partisipasi publik melalui rapat pembahasan yang dilaksanakan dalam waktu singkat. Sehingga, tidak terdapat kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan saran dan masukan terhadap draf rancangan UU tersebut.
Sistematika Permohonan
Terhadap permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyatakan sitematika permohonan yang harus dipedomani dalam mengajukan permohonan hendaknya sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat oleh MK. Untuk hal-hal yang ada pada permohonan a quo, Manahan menilai ada beberapa poin yang seharusnya disesuaikan dengan format permohonan yang telah ditentukan dalam hukum acara MK. Selain itu, Manahan juga menegaskan agar para Pemohon memerhatikan dengan saksama inti-inti dari permohonan. Misalnya atas beberapa artikel media yang disertakan pada permohonan diharapkan nantinya cukup disertakan menjadi alat bukti dan bukan pada uraian permohonan.
“Sehingga permohonan akan lebih sederhana dan mudah dimengerti, serta teori-teori dan argumentasi permohonan formil dan materilnya pun menjadi jelas dan terperinci,” jelas Manahan.
Legal Standing
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mencermati persoalan legal standing khususnya sehubungan dengan identitas para Pemohon dan para Kuasa yang juga tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi. Dalam pandangan Wahiduddin, para Pemohon harus memperjelas pihak yang bertindak sebagai prinsipal. Mengingat terdapat rangkap identitas dan ada kuasa yang tergabung dalam koalisi. Untuk itu, Wahiduddin meminta agar para Pemohon melakukan penyempurnaan dan perbaikan atas hal ini.
Berikutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menasihati agar para Pemohon menguraikan dalam positanya mengenai kapan para Pemohon mengetahui adanya naskah akademik dari norma a quo. Kemudian terhadap hal tersebut, apakah para Pemohon yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi ikut terlibat dalam proses pembahasan.
“Sekiranya ada dokumen-dokumen tersebut yang kemudian bisa meyakinkan Mahkamah, harap lampiran dari naskah akademik tersebut disertakan,” sampai Daniel.
Sebelum menutup sidang, Daniel mengatakan MK memberikan waktu untuk perbaikan permohonan selambat-lambatnya hingga Rabu, 2 Desember 2020 pukul 13.30 WIB. Setelah itu, para Pemohon akan mendapatkan informasi dari Kepaniteraan MK untuk agenda sidang berikutnya.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.