JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) pada Selasa (17/11/20). Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 84/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Rosmanidar yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga.
Pasal 6 UU Hak Taggungan menyatakan, ”Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Melalui Irfandi selaku salah satu kuasa hukum, Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan yakni mengenai alasan permohonan. Irfandi menyebutkan bahwa Pasal 6 UU Hak Tanggungan tidak memuat ketegasan apabila debitur meninggal dunia. Jadi, di dalam pasal tersebut hanya bicara tentang debitur. “Jika debitur tidak meninggal dunia, maka pasal a quo tidak akan bermasalah atau merugikan Pemohon,” ucap Irfandi pada sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK secara virtual dengan diketuai oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul beserta Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Saldi Isra selaku anggota.
Irfandi juga menyebutkan pasal a quo hanya menyebutkan jika debitur yang wanprestasi berkenaan dengan pelunasan utangnya dan bukan mengenai ahli waris debitur. Pada tata pelaksanaan keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama, namun merupakan subjek hukum yang berbeda. Sehingga, Pemohon memohon Mahkamah agar menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga:
Ahli Waris Debitur Minta Diatur dalam UU Hak Tanggungan
Sebelumnya pada sidang pendahuluan, Pemohon menceritakan permohonan yang diajukan ini berangkat dari kasus konkret. Pemohon merupakan ahli waris debitur yang tidak mendapatkan haknya atas keberlakuan Pasal 6 UU Hak Taggungan karena tidak memiliki kejelasan terkait dengan meninggalnya debitur. Apakah seluruh ahli waris yang bertanggung jawab atas piutang tersebut ataupun penunjukan ahli waris diberikan kewenangan secara mutlak untuk bertanggung jawab terhadap pelunasan kewajiban debitur, meskipun ada beberapa ahli waris atau bukan ahli waris tunggal.
Jika dibandingkan dengan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Hak Tanggungan yang pada intinya menyatakan jika kreditur meninggal dunia atau piutang dijaminkan oleh hak waris beralih karena pewarisan, maka hak tanggungan tersebut beralih pada kreditur baru dan wajib didaftarkan ke kantor pertanahan. Namun jika debitur yang meninggal dunia, maka peralihan secara hukum terhadap ahli waris debitur tidak diatur dengan tegas oleh undang-undang untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan guna mendapatkan kepastian hukum. Hal demikian sangat merugikan hak konstitusional Pemohon karena disatu sisi kreditur mendapatkan kepastian hukum, sedangkan Pemohon sebagai ahli waris debitur tidak mendapatkan kepastian hukum.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.