JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi ((MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), pada Rabu (14/10/2020) di Ruang Sidang Pleno MK dengan agenda perbaikan permohonan. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 79/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Joshua Michael Djami. Pemohon merupakan karyawan di sebuah perusahaan finance dengan jabatan selaku Kolektor Internal yang telah bersertifikasi profesi di bidang penagihan.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Zico mengatakan telah menambahkan pasal yang diuji, mengubah model petitum serta memperbaiki kerugian konstitusional dan alasan permohonan.
Adapun pasal yang diujikan yakni Pasal 15 ayat (2), Penjelasan pasal 15 ayat (2) yang telah diubah dan telah dimaknai oleh MK melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019. Zico mengatakan, Pemohon memiliki hambatan karena terdapat dua aliran ajaran hukum tata negara. Pertama, putusan MK secara otomatis langsung mengubah norma undang-undang. Implikasinya, karena secara otomatis substansi dalam norma tersebut telah diubah, maka tidak perlu lagi menyebukan putusan MK yang mengubah pasal tersebut. Sehingga, penyebutannya hanya Pasal 15 ayat (2) dan penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia.
Kedua, lanjut Zico, putusan MK adalah instrumen yang terpisah dari undang-undang sehingga berimplikasi harus ditegaskan secara jelas norma undang-undang tersebut sudah diubah oleh MK. Selain itu, Zico juga menegaskan, pada petitum Pemohon menggunakan model petitum alternatif yang selama ini diizinkan di MK. Hal ini semata-mata hanya untuk mengakomodir permasalahan dua aliran tata negara. Namun, pasal yang dimaksud Pemohon untuk diujikan dalam perkara a quo adalah Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia.
Kemudian pada legal standing, hal yang diubah adalah Pemohon telah menyertakan bukti bahwa Pemohon merupakan kolektor internal yang bersertifikasi profesi bidang penagihan yang berprestasi sebagai bukti P-8.
Perbaikan selanjutnya terdapat pada alasan permohonan. Almas Rioga Pasca Pratama selaku kuasa hukum lainnya mengatakan tidak adanya proposionalitas secara konstitusional bagi pihak terdampak jika dinilai melalui propotionality test. Selain itu, tidak adanya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 bagi industri pembiayaan dikarenakan besarnya biaya yang dikeluarkan (untuk eksekusi) lebih besar dari pada pendapatan dari barang (fidusia) itu sendiri. Oleh karena terciptanya kedudukan yang lebih berat pada satu pihak dimana kreditur harus membawa perkara ini ke pengadilan sementara debitur tidak. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip negara hukum karena memberi celah bagi debitur untuk mengulur waktu, melarikan barang sehingga memberikan ruang bagi terjadinya kejahatan. Menurutnya, hal ini dapat menghancurkan lahan profesi collector dan financing yang legal dan diakui.
Baca Juga:
Kolektor Internal Perusahaan Pembiayaan Uji UU Jaminan Fidusia
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Pemohon mengatakan bahwa ketentuan eksekusi fidusia yang diatur dalam Pasal 15 UU Fidusia sebagaimana keberlakuannya saat ini, telah mengakibatkan tiadanya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, bagi industri pembiayaan dikarenakan besarnya biaya yang dikeluarkan (untuk eksekusi) lebih besar daripada pendapatan dari (barang) fidusia itu sendiri. Ketentuan eksekusi fidusia yang diatur dalam Pasal 15 UU Fidusia telah menciptakan kedudukan yang lebih berat pada satu pihak dimana kreditur harus membawa perkara ini ke pengadilan, sementara debitur tidak harus membawa perkara ini ke pengadilan.
Menurut Pemohon, ketentuan eksekusi fidusia bertentangan dengan prinsip negara hukum karena memberi celah bagi debitur untuk mengulur waktu melarikan barang sehingga memberikan ruang bagi terjadinya kejahatan. Selain itu, keberlakuannya saat ini telah menghancurkan lahan profesi (collector dan financing) yang legal dan diakui oleh MK sendiri yakni pada Putusan 19/PUU-XVIII/2020. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya Pendapatan dan Penghidupan yang layak sebagaimana dijamin Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945.
Pemohon juga menilai ketidakseimbangan hak yang menjadi berat ke debitur oleh karena di perjanjian dituliskan syarat wanprestasi, debitur tetap bisa mengelak dengan mengatakan tiada syarat wanprestasi sehingga harus dibuktikan ke pengadilan. Akibatnya, kreditur yang beritikad baik sesuai prosedur tetap saja terjegal dan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang adil. Lebih lanjut, pemaknaan “sukarela saat eksekusi" bertentangan dengan prinsip negara hukum yang harusnya menjamin aturan yg mencegah terjadinya potensi kejahatan. Apabila debitur beritikad baik, debitur harus minta restrukturisasi bukannya justru tidak sukarela menyerahkan barangnya.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, dan menyatakan frasa “keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia” tidak dimaknai “sukarela saat mendatangani perjanjian Fidusia”.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.