JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana uji materiil Pasal 1365 frasa “kerugian” Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (29/9/2020) siang. Perkara yang teregistrasi dengan nomor perkara 77/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan, ”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Bayu Segara selaku kuasa Pemohon menyampaikan bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan secara langsung atas kata “kerugian” yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang dimaknai termasuk juga honorarium atas jasa hukum dari penggugat kepada Pemohon in casu tergugat. Kronologi kerugian konstitusional yang dialami Pemohon bermula pada 1 Agustus 2019 saat Grab Indonesia mengadakan tantangan jugglenaut yakni menggunakan fasilitas Grab Bike sebanyak 74 kali untuk mendapatkan reward sebesar Rp 1.000.000,00. Pemohon pergi kemanapun menggunakan Grab Bike sehingga Pemohon berhasil menyelesaikan tantangan pada 8 Agustus 2019. Namun reward sebesar Rp 1.000.000,00 tidak didapatkan Pemohon.
“Sebagai itikad baik, Pemohon kemudian menunggu hingga 2 September 2019. Namun, tetap tidak ada reward, bahkan juga tidak ada keterangan atau penjelasan apapun. Pada 3 September 2019 melalui kuasanya, Pemohon memasukkan berkas gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Esoknya, Grab tiba-tiba memberikan reward Rp 1.000.000,00 tersebut ke akun grab Pemohon. Grab justru menggugat balik Pemohon dengan alasan reward sudah diberikan dan mendalilkan kerugiannya karena harus keluar biaya untuk honorarium jasa advokat bagi kuasanya yakni Lawfirm Rajamada & Partners. Perkara tersebut akhirnya diputus NO karena ada ketentuan dalam penggunaan aplikasi Grab, bahwa sengketa antara Grab dan konsumen harus diselesaikan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia, bukan Pengadilan Negeri,” tutur Bayu.
Terhadap persoalan tersebut, Pemohon tidak mengajukan upaya hukum apapun lagi. Namun tiba-tiba pada 5 Februari 2020, Pemohon mendapat somasi dari Grab Indonesia melalui kuasanya Rajamada & Partners. Isi dari somasi tersebut sama persis seperti gugatan rekonvensi, baik alasan maupun hal yang dimintakan. Pemohon tidak mengindahkan somasi tersebut, dan kemudian tiba-tiba Pemohon digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 10 Maret 2020.
Isi gugatan tersebut sama persis dengan gugatan rekonvensi sebelumnya dan somasi. Hanya, hal yang berbeda adalah besaran kerugian. Pada rekonvensi dan somasi kerugian adalah sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tapi pada gugatan di Jakarta Barat ini, besaran kerugian adalah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Padahal kerugian yang dimaksud tetap sama yaitu biaya yang keluar untuk honorarium jasa advokat bagi kuasa Grab, yakni Lawfirm Rajamada & Partners. Kejadian ini menyebabkan Pemohon merasa dirugikan secara langsung atas kata “kerugian” yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang dimaknai termasuk juga honorarium atas jasa hukum dari penggugat kepada Pemohon in casu tergugat.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta permohonan provisi agar Majelis Hakim dapat menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hingga Majelis Hakim memutus permohonan tersebut. Sedangkan dalam pokok perkara, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan kata “kerugian” dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai termasuk juga “Honorarium jasa advokat”
Kasus Konkret
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati permohonan Pemohon merupakan kasus konkret, sehingga tidak perlu menjelaskan terlalu mendetail dalam permohonan. “Kasus konkret hanya pintu masuknya saja dan yang dituju normanya. Buatlah permohonan secara singkat yang mempersoalkan Pemohon digugat oleh penggugat di pengadilan dengan alasannya dan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata. Selain itu bagian kedudukan hukum Pemohon harus diuraikan lagi, supaya bisa jelas kerugian konstitusional yang dialami Pemohon,” saran Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon melengkapi pasal-pasal yang dijadikan batu uji karena Pemohon tidak mencantumkan pasal-pasal yang dijadikan batu uji. “Pemohon agar mencantumkan pasal-pasal yang diuji di bagian Kewenangan Mahkamah. Saya kira, untuk sementara itu saja masukan saya,” kata Daniel.
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan agar permohonan lebih disederhanakan. Ia juga menyoroti permohonan agar tersusun secara sistematis, mulai dari identitas Pemohon, pasal yang diujikan dan batu ujinya, kemudian Kewenangan Mahkamah harus lengkap yang mencakup UU MK, UU Kekuasaan Kehakiman, kesimpulan Mahkamah Berwenang. Selanjutnya ada kedudukan hukum, pihak mana saja yang bisa mengajukan permohonan ke MK, serta ada posita dan petitum. “Saya berkesimpulan, Pemohon sebagai subjek hukum yang mengajukan judicial review ini tidak jelas. Harus jelas subjek hukumnya dan kerugian konstitusionalnya,” tandas Arief.
Selain itu, Arief mengingatkan MK tidak berwenang untuk menunda pelaksanaan persidangan di pengadilan negeri seperti petitum provisi Pemohon. MK, lanjutnya, hanya berwenang menunda persidangan jika ada peraturan di bawah undang-undang diuji di MA, kemudian undang-undang yang menjadi landasan hukumnya diuji di MK.
“MK tidak bisa memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menunda. Kalau di sana ada judicial review peraturan di bawah undang-undang didasarkan pada undang-undang ini bisa di sana (Mahkamah Agung) berhenti dulu. Tapi kalau dalam memerintahkan pengadilan dalam perkara perdata, MK tidak punya kewenangan,” jelas Arief.
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Selambatnya perbaikan permohonan dapat diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada 12 Oktober 2020. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana