JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b serta pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004). Sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan untuk perkara Nomor 63/PUU-XVIII/2020 ini digelar pada Kamis (3/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan ini diajukan oleh sembilan Pemohon yang terdiri atas Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora, Sujad, Umar Ma’ruf, Jalal Umaruddin, Susanto Rahardjo, Febrian Candra Widya Atmaja, Exi Agus Wijaya, Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI).
Pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra ini, Sigit Nugroho Sudibyanto selaku kuasa hukum para Pemohon, menyebutkan beberapa poin perbaikan permohonan. Salah satunya menyatakan Pemohon 8 dan 9 yakni MAKI dan LP3HI tidak lagi sebagai Pemohon dalam perkara ini.
“Melalui sidang ini agar Pemohon 8 dan 9 dinyatakan tidak lagi sebagai Pemohon,” jelas Sigit melalui video conference dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Selain itu, para Pemohon juga melengkapi argumentasi kerugian konstitusional perseorangan. Kemudian menegaskan alasan permohonan.
Baca Juga:
Menggugat Aturan Dana Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Sebagaimana diketahui, pada sidang terdahulu para Pemohon yang terdiri dari perkumpulan dan perseorangan warga negara dengan berbagai profesi beranggapan frasa “Kabupaten/Kota penghasil” dalam pasal yang diuji memiliki kelemahan yang berdampak pada adanya kabupaten/kota dalam satu wilayah kerja (WK) yang tidak mendapatkan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH). Merujuk pada Pasal 1 angka 14 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyebutkan, “Wilayah kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi”. Dengan kata lain sebelum mendapatkan hasil dari kegiatan eksploitasi, terlebih dahulu dilakukan kegiatan ekploitasi mencakup wilayah yang luas dari kabupaten/kota penghasil.
Permasalahan berikutnya adalah saat sumber daya migas yang sangat luas dan mencakup provinsi lain. Pihak yang mendapatkan DBH hanya “Kabupaten/Kota penghasil” saja dan daerah yang masuk Wilayah Kerja (WK), namun daerah yang bukan termasuk “Kabupaten/Kota Penghasil” tidak mendapatkan bagian dari DBH. Pengeboran Blok Cepu dilakukan di lapangan Banyu Urip, Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam Bojonegoro, Jawa Timur sehingga Kabupaten Blora tak pernah mendapatkan DBH. Dikarenakan perhitungan DBH hanya didasarkan pada wilayah tempat beradanya mulut sumur eksploitasi dan produksi migas tersebut ditambang. Padahal, wilayah Blora dan Bojonegoro hanya dibatasi Bengawan Solo. Oleh karena itu, dengan adanya perlakuan berbeda terhadap dana bagi hasil migas tidak mencerminkan adanya kesatuan ekonomi nasional dalam bingkai NKRI dan tidak mencerminkan kegiatan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim