JAKARTA, HUMAS MKRI – Meski baru disahkan pada 10 Juni 2020 silam, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana dua perkara, yakni perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 dan perkara Nomor 65/PUU-XVIII/2020, digelar pada Selasa (11/8/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis yang merupakan advokat pada bidang pertambangan serta Muhammad Kholid Syeirazi selaku Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU). Para Pemohon menguji materiil Pasal 169A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 UU PMB yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan implikasi dari ketentuan pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945 karena adanya perbedaan perlakuan antara pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dengan Badan Usaha swasta untuk memperoleh izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Padahal, pemegang KK dan PKP2B dipandang Pemohon merupakan Badan Usaha swasta yang sama posisinya dengan Badan Usaha swasta lain yang diatur dalam Pasal 75 ayat (4) UU Minerba.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Victor Santoso Tandiasa mengatakan penambahan pasal a quo dalam UU Minerba tidak memiliki politik hukum yang jelas. Hal tersebut karena tidak ada ratio legis/alasan hukum dari pembentuk undang-undang dalam mengubah undang-undang untuk mengatur hak-hak pemegang KK dan PKP2B dan 2 (dua) jenis kontrak tersebut adalah badan usaha swasta.
Selain itu, pasal a quo memperlihatkan ketidakberpihakan pembentuk undang-undang terhadap peran (organ negara) melalui BUMN dan BUMD yang memperoleh prioritas dalam mendapatkan IUPK. Tetapi pihak yang memegang KK dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak /Perjanjian tanpa mengikuti pelbagai mekanisme yang diatur dalam Pasal 75 UU Minerba. Konstruksi Pasal 75 ayat (3) UU Minerba yang memberikan prioritas kepada BUMN dan BUMD untuk memperoleh IUPK sejak awal telah menjadi politik hukum yang dipilih oleh pembentuk undang-undang sehingga ketentuan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.
Viktor juga mengatakan bahwa keberadaan pasal a quo telah memberikan kewenangan yang terlampau luas kepada menteri untuk memberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK kepada pemegang KK dan PKP2B tanpa mengikutsertakan Pemerintah Daerah sebagai pihak yang secara langsung berdampak dari keberadaan kegiatan yang tertuang dalam KK dan PKP2B sehingga ketentuan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.
Dalam petitum, para Pemohon meminta agar MK menyatakan Menyatakan Pasal 169A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tercabutnya Kewenangan Pemda
Berikutnya, Panel Hakim Konstitusi memeriksa permohonan Nomor 65/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Erzaldi Rosman, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. Erzaldi melakukan pengujian materiil Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 21, Pasal 48 huruf a dan huruf b, Pasal 67, Pasal 173B, dan seluruh muatan pasal-pasal yang mencabut kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Gubernur dalam UU Minerba.
Erzaldi melalui kuasa hukumnya, Dharma Sutomo, menegaskan pasal-pasal a quo telah bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945 yaitu dengan tidak memperhatikan kekhususan atau ciri daerah serta asas adil dan selaras. Hal tersebut secara langsung telah menghilangkan hak otonomi daerah, khususnya di bidang energi dan sumber daya mineral.
“Penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terbukti telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, hal ini berbanding terbalik ketika diberlakukan UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan yang sentralistik,” jelas Dharma.
Dalam petitum, Pemohon meminta kepada MK agar menyatakan UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan kepada Pemohon perkara nomor 65/PUU-XVIII/2020 untuk mengikuti sistematika yang ada pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Selain itu, Arief menasihati para Pemohon agar memperbaiki legal standing Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon perkara nomor 64/PUU-XVIII/2020 untuk memperbaiki kedudukan hukum. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Raisa Ayudhita
Fotografer : Gani