JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b serta pasal 20 ayat (2) huruf b atas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004). Sidang perdana perkara Nomor 63/PUU-XVIII/2020 digelar pada Selasa (11/8/2020) dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra. Permohonan ini dimohonkan oleh sembilan Pemohon yang terdiri atas Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora; Sujad; Umar Ma’ruf; Jalal Umaruddin; Susanto Rahardjo; Febrian Candra Widya Atmaja; Exi Agus Wijaya; Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI); serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI).
Sigit Nugroho Sudibyanto selaku kuasa hukum para Pemohon, menyebutkan bahwa para Pemohon yang terdiri dari perkumpulan dan perseorangan warga negara dengan berbagai profesi beranggapan frasa “Kabupaten/Kota penghasil” dalam pasal yang diuji memiliki kelemahan yang berdampak pada adanya kabupaten/kota dalam satu wilayah kerja (WK) yang tidak mendapatkan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH). Merujuk pada Pasal 1 angka 14 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyebutkan, “Wilayah kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi”.
Artinya, sambung Sigit, sebelum mendapatkan hasil dari kegiatan eksploitasi, terlebih dahulu dilakukan kegiatan ekploitasi mencakup wilayah yang luas dari kabupaten/kota penghasil. Apabila dimaknai pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya alam pertambangan, harus berdampak bagi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat termasuk kabupaten/kota dalam wilayah kerja penghasil. Sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupan masyarakat. Dengan demikian, para Pemohon mendalilkan bahwa pasal a quo bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.
“Maka, kerugian yang dialami oleh para Pemohon berupa ketidakadilan dalam pembagian DBH yang didasarkan pada “Kabupaten/Kota Penghasil” yang mengakibatkan Kabupaten Blora tidak mendapatkan DBH untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Blora,” kata Sigit dengan didamping Utomo Kurniawan melalui video conference dari Universitas Negari Sebelas Maret (UNS).
Masuk dalam Kawasan
Berikutnya, Utomo menyebutkan bahwa permasalahan yang kemudian muncul lagi adalah ketika sumber daya migas yang sangat luas dan mencakup provinsi lain. Maka yang mendapatkan DBH hanya “Kabupaten/Kota penghasil” saja dan daerah yang masuk Wilayah Kerja (WK), namun daerah yang bukan termasuk “Kabupaten/Kota Penghasil” tidak mendapatkan bagian dari DBH.
Sejatinya, pengeboran Blok Cepu dilakukan dilakukan di lapangan Banyu Urip, Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam Bojonegoro, Jawa Timur. Sehingga Kabupaten Blora tak pernah mendapatkan DBH karena perhitungan DBH didasarkan pada wilayah tempat beradanya mulut sumur eksploitasi dan produksi migas tersebut ditambang. Padahal, jelas Utomo, wilayah Blora dan Bojonegoro hanya dibatasi Bengawan Solo. Sebagian wilayah Blora dan Bojonegoro sama-sama masuk dalam kawasan Blok Cepu. Dengan demikian, Blora seharusnya mendapatkan DBH dari produksi migas Blok Cepu.
“Oleh karena itu, dengan adanya perlakuan berbeda terhadap dana bagi hasil migas tidak mencerminkan adanya kesatuan ekonomi nasional dalam bingkai NKRI dan tidak mencerminkan kegiatan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Hal tersebut menimbulkan terjadinya desentralisasi asimetrik. Hal tersebut pulalah yang merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum,” terang Utomo.
Untuk itu, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim agar menyatakan Pasal 19 ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf b dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 33/2004 bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Kabupaten/Kota adalah Termasuk dalam Wilayah Kerja (WK) penghasil yang mempunyai Cadangan Sumber Daya Alam tersebut”.
Kedudukan Hukum
Mendapati permohonan ini, Hakim Konstitusi Manahan memberikan saran perbaikan, di antaranya berhubungan dengan kedudukan hukum para Pemohon. Dalam permohonan a quo, didapati para Pemohon terdiri aras organiasasi atau aliansi dan peroseorangan warga negara dengan berbagai profesi. Terkait dengan organisasi yang terdiri atas ketua, sekretaris, dan bendahara, maka Manahan mempertanyakan pihak yang berhak mewakili lembaga di dalam dan luar pengadilan. Berikutnya, Pemohon II dan beberapa Pemohon lainnya yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia, harus dibedakan penguraian kerugian konstitusional yang dialami masing-masingnya.
Selajutnya, Manahan mempertanyakan irisan antara kepentingan organisasi dan perseorangan terhadap keberlakukan UU a quo, menimbang UU a quo adalah terkait dengan hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
“Bagaimana irisan antara organisasi dan pribadi dengan UU ini, ini kan urusannya antara pemerintah daerah dan pusat. Apakah jika perkara ini tidak disetujui Pemerintah Daerah, dan pihak yang lebih berhak adalah pemerintah daerah dibandingkan alisansi dan pribadi yang mengajukan masalah ini,” tanya Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi menekankan pada pentingnya para Pemohon menguraikan kKerugian konstitusional yang dialaminya, baik yang sudah terjadi maupun potensial terjadi. Saldi menilai tersebut harus disebutkan dan terutama pula kaitannya dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menjadi rujukan kerugian tersebut.
“Sangat mungkin jika yang mengajukan kelompok masyarakat/badan hukum, berbeda kerugiannya dengan perseorangan. Soal legal standing ini penting bahwa jika para Pemohon tidak memilikinya, maka Mahkamah tidak akan mempertimbagkan pokok permohonannya,” tegas Saldi.
Hakim Konstitusi Arief pun menegaskan agar dalam permohonan para Pemohon dalam kedudukan hukum menjelaskan subjek hukum yang mengajukan permohonan, yakni badan hukum dan perorangan. Hal ini, sambung Arief, diuraikan detail dan spesifik. “Mahkamah perlu penjelasan, tidak hanya berkaitan dengan kasus konkret tetapi juga dengan teori yang melandasi, seperti otonomi daerah dilakukan untuk peningkatan kesejahteraan tetapi ada ketidakadilan pembagian SDA daerah,” kata Arief.
Sebelum mengakhir persidangan, Arief mengingatkan agar para Pemohon menyempurnakan dan menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 24 agustus 2020 pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : M. Halim
Fotografer : Gani