JAKARTA, HUMAS MKRI - Ahmad Ridha Sabana selaku Ketua Umum DPP Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) dan Abdullah Mansuri selaku Sekretaris Jenderal DPP Partai Garuda mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (16/7/2020).
Partai Garuda (Pemohon) melalui M. Maulana Bungaran selaku kuasa hukum menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan “Partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, penerapan verifikasi ulang terhadap partai politik yang telah mengikuti pemilu adalah bertentangan dengan asas legalitas dan menciderai kepastian hukum yang adil dan hak kemudahan serta perlakukan khusus guna memperoleh kesempatan dan manfaat dari hasil verifikasi yang telah dilakukan sebelumnya.
Sejatinya, Pemohon telah mengikuti pemilu dengan memenuhi semua persyaratan sebagaimana dalam Pasal 173 Ayat (2) UUD 1945. Persyaratan untuk menjadi peserta pemilu telah dilakukan oleh Pemohon dengan mengeluarkan biaya yang besar serta proses yang panjang dan melelahkan.
Dalam perspektif tujuan hukum, keberadaan partai politik adalah untuk menciptakan kemanfaatan untuk kebahagiaan mayoritas rakyat. Pemohon melihat bahwa adanya verifikasi ulang terhadap partai politik yang telah menjadi peserta pemilu merupakan bentuk penyimpangan terhadap kemanfaatan hukum tersebut.
“Karena itu Pemohon berhak mengikuti pemilihan umum yang dilaksanakan setelah UU Pemilu disahkan pada 2019 serta pemilu berikutnya. Secara prinsip semua undnag-undang dibuat bukan untuk kurun waktu tertentu, begitu juga dengan UU a quo dibuat bukan hanya untuk Pemilu 2019,” jabar M. Maulana Bungaran di hadapan sidang panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto bersama Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Pemohon berpendapat partainya yang telah mengikuti pemilu sebelumnya tidak perlu lagi dilakukan proses verifikasi untuk pemilu selanjutnya. Sesuai dengan namanya, sambung Maulana, verifikasi merupakan upaya konfirmasi kebenaran faktual terhadap berbagai persyaratan. Sehingga norma persyaratan dan hasil verifikasi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena hasilnya tersebut terus berlaku melekat pada partai politik yang bersangkutan.
Menurut Maulana adanya verifikasi pada tiap penyelenggaraan pemilu bertentangan dengan kebiasaan administratif yang diterapkan di Indonesia. Selain itu, standar politik hukum dalam wacana penyederhanaan partai politik melalui verifikasi ulang sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945 dan berseberangan dengan pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pemilu.
“Ketika partai politik dinyatakan lulus verifikasi persyaratan, maka hasil verifikasi tersebut terus melekat. Oleh karenanya berhak berkontestasi dalam pemilu berikutnya tanpa dilakukan verifikasi ulang,” urai Maulana.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Partai Garuda dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya.”
Politik Itu Dinamis
Menanggapi permohononan ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menasihati agar Partai Garuda memperkuat subjek hukum, kerugian konstitusional, dan substansi permohonannya. Dalam pandangan Arief, partai politik di Indonesia didirikan dengan persyaratan tertentu dan khusus. Gunanya menunjukkan partai politik yang ikut pemilu memiliki dukungan yang relevan dan signifikan didukung masyarakat. Indonesia yang sangat beragam ini, jelas Arief, pada prinsipnya partai harus didukung oleh perolehan suara yang dinamis.
“Apakah kemudian partai yang tidak diverifikasi itu masih punya dukungan yang dinamis. Jadi, di permohonan ini belum terlihat karena di sini partai politik bersifat ajeg, sedangkan urusan perolehan suara dan dukungan itu bersifat dinamis. Perpolitikan itu bersifat dinamis dan mengalami perubahan sehingga verifikasi itu belum tentu berlaku pada pemilu berikutnya,” jelas Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Aswanto mengatakan belum menemukan argumentasi yang meyakinkan terhadap kerugian konstitusional yang dijabarkan dalam permohonan Pemohon. Termasuk mengenai ne bis in idem terhadap materi, muatan, ayat UU Pemilu yang pernah diuji di MK. Pemohon diharapkan dapat mempelajari permohonan yang pernah diajukan ke MK, dengan membangun penjelasan yuridis yang perlu dielaborasi lebih lanjut dengan permasalahan yang dihadapi Pemohon.
“Berikutnya, Pemohon juga perlu meyakinkan Mahkamah terhadap argumentasi Pemohon jika norma a quo diubah sebagaimana diharapkan, yang terlanggar adalah hak konstitusional dan bukan permasalahan implimentasi norma,” sampai Aswanto.
Sebelum menutup persidangan, Aswanto mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Rabu, 29 Juli 2020 pukul 11.30 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/ASF/NRA) .