JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (17/6/2020) di ruang sidang Pleno MK. Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) yang diwakili oleh Mahesa Paranadipa Maykel selaku ketua umum menjadi Pemohon Perkara 36/PUU-XVIII/2020.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular menyatakan, “Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya”. Pemohon juga melakukan pengujian materiil Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan yang menyebut, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan”.
Aisyah Sharifa salah seorang kuasa hukum Pemohon menyampaikan, MHKI bermaksud menghimpun, membina, memajukan hukum kesehatan di Indonesia melalui kajian, penelitian, pelatihan, mediasi, advokasi, dan diskusi dalam bidang hukum kesehatan untuk kepentingan kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia.
“Pengujian perkara a quo sangat erat kaitannya dengan permasalahan penanganan dan regulasi Covid-19, dalam hal regulasi sumber daya alat, sumber daya tenaga manusia, maupun prosedur dan pengaturannya. MHKI yang memiliki tujuan sebagaimana dalam AD/ART MHKI, serta keanggotaan MHKI yang mayoritasnya tenaga kesehatan berjuang melawan Covid-19. Menjadi suatu kenyataan bahwa MHKI memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo,” ujar Aisyah kepada Panel Hakim MK yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Pemohon menegaskan, ada kewajiban pemerintah untuk menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan yang bertugas melawan Covid-19 sebagai perlindungan hukum yang adil dan tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak. Tingginya angka penularan Covid-19 yang terjadi saat ini, mengharuskan pemenuhan fasilitas kesehatan bagi tenaga kesehatan, terutama APD yang merupakan hal yang pokok harus didapatkan tenaga kesehatan dalam menangani pasien selama masa pandemi Covid-19.
“Ketiadaan pemerintah dalam regulasi penyediaan APD ini membuat banyak tenaga kesehatan bekerja tanpa menggunakan APD yang sesuai standard. Selain itu, fasilitas pelayanan kesehatan yang ingin menyediakan APD secara mandiri harus menghadapi harga APD yang meningkat tajam dan menjadi langka di pasaran. Hal ini berujung pada banyak tenaga kesehatan yang tertular Covid-19 dalam dua bulan terakhir, dan faktor utama yang menyebabkan tertularnya tenaga medis adalah APD yang tersedia masih sangat kurang dan tidak sesuai standar,” kata Aisyah.
Akibatnya, ungkap Pemohon, banyak tenaga medis menjadi tertular dan bahkan meninggal dunia. Jumlah dan persentase tenaga kesehatan tersebut berada pada kisaran yang memprihantikan atau cenderung mengerikan. Bahwa Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan bahwa pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab terhadap kesediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Mengingat APD merupakan hal pokok yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan terkait Covid-19, maka ketersediaan APD beserta sumber daya kesehatan lainnya yang dibutuhkan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun menurut Pemohon, penjelasan mengenai apa yang disebut sebagai sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan tidak ada dalam pasal a quo.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan frasa “dapat” dalam Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, Pemohon juga meminta agar Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk juga: (a) Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi seluruh Tenaga Kesehatan yang bertugas; (b) Insentif bagi tenaga medis dan tenaga non-medis yang bertugas menangani pasien COVID-19; (c) Santunan bagi keluarga Tenaga Kesehatan yang gugur ketika bertugas; dan (d) Sumber daya pemeriksaan COVID-19 untuk seluruh masyarakat dengan alur pemeriksaan yang cepat.
Lengkapi Identitas Pemohonan
Terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengomentari identitas Pemohon agar lebih dilengkapi pada perbaikan permohonan. “Harus ada dasar hukum yang menunjukkan dengan jelas bahwa Ketua Umum berhak mewakili MHKI di dalam dan luar pengadilan. Itu harus disebutkan dengan jelas dalam AD/ART MHKI. Hal ini kaitannya lebih dalam pada kedudukan hukum,” saran Enny.
Kemudian Enny menyingggung kedudukan hukum Pemohon. Menurut Enny, kualifikasi Pemohon harus lebih dijelaskan, apakah sebagai peorangan warga negara atau berupa badan hukum. “Ini tidak dijelaskan dalam permohonan,” ucap Enny.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan Pemohon agar mencari tambahan argumentasi dalam petitum. “Apa yang bisa menjelaskan petitum seperti ini di tengah sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku ke depan. Kalau ini tidak clear, maka kami bisa mengkategorikan petitum Pemohon kabur,” tegas Saldi. (Nano Tresna Arfana/tir/LA)