JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian pada Senin (18/5) siang di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 32/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Badan Perwakilan Anggota (BPA) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang terdiri dari Nurhasanah, Ibnu Hajar, Maryono, Achmad Jazidie, Habel Melkias Suwae, Gede Sri Darma, Septina Primawati, dan Khoerul Huda. Para Pemohon menguji Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Kuasa hukum Pemohon, Zul Armain Aziz dalam persidangan panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo ini, menyatakan bahwa Pemohon mengalami kerugian konstitusional akibat keberadaan pasal tersebut. Pemohon beranggapan, ketentuan tersebut tidak sesuai dengan substansi Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014. Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan bahwa ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual Insurance) harus diatur lebih lanjut dengan UU tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan diucapkan. Sebagai tindak lanjut, Presiden membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Namun, menurut Pemohon, Pemerintah dan DPR telah melakukan kemunduran dengan mengubah UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, terutama pada Pasal 6 ayat (3).
“Akan tetapi, yang mengatur masalah mutual insurance dalam artian Asuransi Bumiputera sama diatur dalam ketentuan salah satu pasal UU No. 2 Tahun 1992,” ujar Zul. Pemohon berpendapat, keberadaan PP ini juga bertentangan dan bertolak belakang dengan Anggaran Dasar AJB yang telah ada dan memberikan jaminan eksistensi dan kewenangan bagi para Pemohon.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “... diatur dengan Undang-Undang.”
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan menjadi lebih ringkas. “Karena kan sesungguhnya permohonan saudara itu sederhana,” ujarnya. Selain itu Suhartoyo juga meminta pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami dengan lebih rinci.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 2 Juni 2020 pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Utami/AL/NRA).