JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (Perppu Penanganan Covid-19) pada Kamis (14/5/2020) pagi. Masih dalam suasana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta, sidang Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020, 24/PUU-XVIII/2020, dan 25/PUU-XVIII/2020 ini diselenggarakan dengan penerapan pola penjarakkan fisik (physical distancing) sesuai dengan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Demi mendukung upaya pencegahan persebaran Covid-19, Ketua Panel Hakim Aswanto mengimbau para Pihak, baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi maupun berbagai pihak yang terkait lainnya untuk dapat menggunakan fasilitas persidangan dalam jaringan/daring (online). Untuk mendukung jalannya persidangan daring ini, MK memanfaatkan teknologi Zoom dan Cloudx dalam mempermudah berbagai pihak untuk tetap dapat mengikuti persidangan dari kediaman masing-masing. Para pihak yang akan mengikuti persidangan diharapkan melaporkan terlebih dahulu perangkat yang dimanfaatkan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK sekurang-kurangnya dua hari sebelum persidangan digelar. Sementara bagi para pihak pendukung persidangan yang ingin mengikuti perkembangan perkara yang disidangkan, dapat mengakses dan menonton persidangan melalui live streaming dari YouTube di rumah masing-masing.
Dalam sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan ini, Hakim Konstitusi Aswanto menyampaikan bahwa Pemohon perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020 yaitu Damai Hari Lubis, seorang pengacara sekaligus aktivis organisasi kemanusiaan, mengirimkan surat kepada Mahkamah. Dalam surat resmi tersebut, pihaknya menyatakan pencabutan perkara yang telah teregistrasi Nomor 25/PUU-XVIII/2020 dari pengajuan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di MK. Maka pada persidangan tersebut hanya dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan perbaikan permohonan dari dua perkara. Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lainnya yang berasal dari berbagai latar belakang profesi; dan Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lainnya.
Komparasi Instrumen Hukum Darurat
Dalam perbaikan permohonannya, para Pemohon perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Ibnu Sina C. menyampaikan beberapa poin penyempurnaan permohonan. Beberapa perbaikan tersebut, di antaranya menyatakan jumlah kuasa hukum dan Pemohon adalah benar 24 orang, memperkuat kedudukan hukum para Pemohon yang terkait dengan kepentingan kesehatan publik sehingga hak konstitusi kesehatan para Pemohon pun terancam dengan keberlakukan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19. Hal yang paling utama disampaikan Ibnu mewakili para Pemohon, yaitu komparasi mengenai instrumen hukum darurat yang diberlakukan negara-negara lainnya di dunia terhadap penanganan permasalahan Covid-19.
Dalam penjelasannya, Ibnu mencontohkan beberapa aturan hukum yang diberlakukan di negara Taiwan. Ia menyebutkan bahwa Taiwan tidak menggunakan Perppu melainkan segera melakukan penerapan hukum darurat dengan mekanisme teknis yang tidak rumit. Berikutnya, ia juga membandingkan dengan Pemerintah Korea Selatan yang dinilai sangat sigap karena telah siap dengan undang-undang khusus pengendalian penyakit menular, kekarantinaan, kesehatan masyakat daerah, pencegahan AIDS, serta peraturan darurat keuangan. Senada dengan Korea Selatan, Selandia Baru yang meski tidak menggunakan undang-undang atau perppu dan memilih produk nonhukum terhadap penanggulangan penyebaran Covid-19 ini, telah delapan kali menerapkan aturannya untuk menangani masalah ini.
“Selain dari penjelasan tentang penerapan hukum di negara tersebut, pada permohonan perbaikan ini kami juga menyertakan penetapan budget dari WHO. Pada intinya menjelaskan bagaimana memperbaiki sistem budget, selain dari mempunyai unsur fleksibilitas, maka setiap budget pun harus akuntabel. Kita (Indonesia) sudah punya undang-undang keuangan negara dan tidak digunakan oleh pemerintah,” terang Ibnu yang hadir langsung di Ruang Sidang Pleno MK dalam sidang yang dihadiri Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh sebagai anggota panel hakim.
Seperti diketahui berdasarkan persidangan lalu, para Pemohon ini menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Perppu a quo tidak memenuhi parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019. Di samping itu, para Pemohon juga melihat bahwa ketentuan norma a quo membuka peluang defisit anggaran di atas 3% Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya. Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Selain itu, para Pemohon juga beranggapan bahwa Pasal 27 ayat (1) Perppu Penanganan Covid-19 memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi.
Kejanggalan Norma
Selanjutnya, para Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Boyamin bin Saiman menyebutkan dalam perbaikan permohonan. Salah satunya, yakni Pemohon telah melampirkan pendapat ahli terkait dengan beberapa komponen istilah yang dibutuhkan untuk setiap bagian dari Perppu Penanganan Covid-19 ini. Boyamin melihat bahwa ada kejanggalan pada norma ini, yaitu berupa sistematikanya yang tak lazim seperti tidak ada ketentuan umum dari aturan tersebut dan langsung mengenai ruang lingkup. Sehingga, dirinya menilai bahwa norma ini hanya berguna dalam keadilan bagi pejabat dan tidak ada untuk rakyat.
Sementara itu, terkait dengan nasihat Mahkamah pada persidangan lalu mengenai penerapan hukum darurat pada negara lain yang juga terdampak, Boyamin mencontohkan Malaysia. Ia mendapati bahwa Malaysia tidak sampai membuat hukum darurat, hanya saja mengancam keberlakukan keadaan darurat militer. “Malaysia hanya mengancam darurat militer dan tidak membuat situasi darurat tentang keuangan,” jelas Boyamin.
Para Pemohon juga melengkapi alat bukti berupa daftar nama pengurus sesuai akte kepenguruan atau lembaga. Selanjutnya, para Pemohon melakukan pengubahan pada Petitum dengan memohon agar Mahkamah membatalkan secara bersyarat terhadap Pasal 27 ayat (1) dan membatalkan sepenuhnya Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Perppu Penanganan Covid-19 ini.
Pada sidang pendahuluan, para Pemohon menyebutkan Pasal 27 ayat (1) Perppu a quo menyatakan biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukanlah kerugian negara, padahal sumber keuangan tersebut berasal dari keuangan negara. Para Pemohon juga berpendapat bahwa pada Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo terdapat sisipan frasa “jika” yang dapat saja dijadikan dalih bagi Presiden atau Pemerintah untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum. Maka, Pemohon berpandangan frasa “jika” bersifat multitafsir dimana pejabat akan berlindung dari frasa “itikad baik” untuk lepas dari tuntutan hukum. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, menyatakan bahwa dalil sebuah kebijakan dengan itikad baik dan merugikan keuangan negara harus diuji melalui proses hukum yang terbuka sehingga tidak boleh ada istilah itikad baik berdasar penilaian subjektif oleh penyelenggara pemerintahan. (Sri Pujianti/RA/LA)