JAKARTA, HUMAS MKRI - Diperlukan desain desentralisasi asimetris khusus yang diberikan pada Papua karena masalah yang ada di sana pun sifatnya khusus. Penanganannya tak cukup dengan proteksi tetapi lebih dari itu, yakni adanya akselerasi.
Hal tersebut disampaikan Bambang Purwoko selaku Ahli yang dihadirkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.
Sidang perkara Nomor 41/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Ketua dan Sekjen Partai Papua Bersatu atas nama Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa, ini digelar pada pada Kamis (30/1/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan frasa “Partai Politik” pada Pasal 28 ayat (1) UU Otsus Papua bertentangan dengan UUD 1945.
Bambang Purwoko yang juga Dosen llmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini menjabarkan penerapan desentralisasi asimetris di Indonesia dilaksanakan atas beberapa urgensi. Misalnya untuk mengatasi konflik seperti yang dipilih terhadap D.I. Aceh, untuk alasan ibu kota negara seperti yang diputuskan untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ada pula untuk alasan budaya bagi Daerah Istimewa Yogyakarta, serta ada pula akibat kekhususan daerah perbatasan dan lainnya. Sedangkan di Papua dilaksanakan karena masalah yang sangat khusus.
“Sejak tahun 2000, saya telah meneliti wilayah kabupaten/kota dari Papua, maka secara politik, sosial, budaya, karakter alam Papua memiliki karakter khusus. Sehingga untuk menangani masalah Papua diperlukan penanganan khusus pula,” terang Bambang dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Fungsi Parpol Lokal
Menurut Bambang, dalam bidang politik khususnya terkait dengan UU Otsus Papua ini perlu ada penegasan, baik dalam pasal yang diuji maupun dilakukan penyempurnaannya. Termasuk adanya penegasan tentang keberadaan partai politik lokal (parlok) yang harus diikuti dengan penataan desain pemilihan umum. Sehingga hal ini bisa memberikan proteksi dan afirmasi bagi masyarakat asli papua dalam struktur politik yang disiapkan negara. Karena selama ini yang terjadi dan dihadapi politisi lokal yang merupakan Orang Asli Papua (OAP) adalah kompetensi politik dan administrasi yang tak memihak.
Di samping itu, sambung Bambang, perlu pula ada penegasan bagaimana sebuah partai politik lokal tersebut menjalankan fungsinya, seperti pendidikan dan terutama fungsi sebagai sarana aktualisasi aspirasi masyarakat lokal. Karena pembentukan parlok adalah bagian dari pemenuhan hak konstitusional warga negara termasuk OAP.
“Dengan demikian, kompleksitas di Papua diperlukan desain khusus berupa reinstrumentasi yang lebih adaptif terhadap konteks lokal dan perlu pula pengawalan agar kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut memiliki ketegasan dalam pelaksanaannya bagi OAP,” jelas Bambang.
Jalan Dialog
Sementara itu, Fachry Ali selaku Pakar Komunikasi Politik Indonesia asal Aceh yang dihadirkan MK dalam keterangan ahlinya menyampaikan perspektif Aceh terhadap Papua. Menurut Fachry, kemunculan parlok di Aceh harus dikaitkan dengan Perjanjian Helsinki antara Indonesia (Jakarta) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005. Apabila dikaitkan dengan konteks politik, pada masa ini posisi militer sedang melemah karena pasca-tsunami. Hal ini kemudian dimanfaatkan untuk mencari jalan keluar dari konflik panjang yang terjadi di Aceh. Maka, perjanjian itu membuat garis-garis besar dari kesepakatan salah satunya keberadaan parlok.
Diakui Fachry bahwa parlok di Aceh merupakan organisasi politik yang dibentuk warga aceh secara sukarela untuk perjuangan masyarakat lokal. Pada awalnya, terang Fachry, untuk menghadapi wilayah yang bergejolak, tidak ditanggapi dengan dialog. Aksi militer dan polisioner dilaksanakan atas daerah tersebut, tetapi kemudian jalan dialog dipilih pada masa berikutnya salah satunya dengan terbentuk partai politik lokal di Aceh.
“Sehingga dengan ini perdamaian pun bisa diciptakan, demokrasi pun bisa diciptakan di tingkat lokal dan mulai terbentuk hubungan hiekarki antara Jakarta dan daerah,” sampai Fachry.
Solusi Konflik
Pada kesempatan selanjutnya, Adriana Elisabeth yang dihadirkan MK menyatakan bahwa konflik di Papua tak hanya menjadi konflik daerah di Indonesia, tetapi juga menjadi sorotan dunia. Untuk menanggulangi masalah ini, pemerintah sejak 2001 telah mengupayakan otonomi khusus untuk mengurangi konflik. Diceritakan Adriana, dari 2004–2009 ia dengan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) secara jelas menemukan skema persoalan di Papua, di antaranya permasalahan ideologi, politik keamanan, dan pro kontra sejarah integrasi Papua, masalah adat dan kerusakan lingkungan, konflik sumber daya alam, dan kekerasan serta pelanggaran negara akibat ada rasa termarginalisasi yang dialami masyarakat Papua.
Menurutnya, ada beberapa solusi yang dapat ditempuh Pemerintah dalam mengatasi konflik panjang ini yakni melakukan rekognisi dan pemberdayaan orang Papua, menerapkan paradigma pembangunan sesuai dengan karakteristik Papua, membentuk komisi kebenaran dan pengadilan HAM terutama yang terkait dengan konflk panjang serta trauma yang dialami masyarakat Papua, dan melakukan dialog salah satunya dengan pembentukan parlok.
“Dialog disebut para-para adat oleh masyarakat Papua, yang telah dilakukan masyarakat sejak lama. Sehingga jalan ini dapat diaklamasikan sebagai model penanganan masalah di Papua. Melalui pembentukan parlok ini merupakan salah satu jalan mengakui hak konstitusional dan demokrasi lokal Papua serta bagian dari implimentasi otonomi khusus Papua,” jabar Adriana yang merupakan Koordinator Jaringan Damai Papua Jakarta.
Lebih Rumit dari Aceh
Sebagai ahli yang sudah lama menggeluti permasalahan di Papua, Adriana mengakui bahwa masyarakat adat di Papua sangat heterogen sehingga heterogenitasnya sangat kompleks dan bahkan lebih rumit dari Aceh. Jika mengacu pada Kesepakatan Helsinki, Adriana melihat terdapat pihak yang mengawasi proses politik yang terjadi di Aceh sehingga dapat dikatakan sangat partisipatif. Sedangkan di Papua, Adriana melihat hal itu tidak ada.
“Perlu pertimbangkan akan adanya lembaga yang mengawasi dengan syarat harus berbasis pada 7 wilayah adat di Papua. Maka, pemeritah pusat jangan terlalu curiga ke Papua,” harap Adriana.
Sebagai informasi bahwa para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya bermula pada kasus konkret yaitu ditolaknya partai politiknya (parpol) untuk berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 oleh KPU Provinsi Papua. Hal ini diperkuat pula dengan telah dibatalkannya Keputusan Pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut para Pemohon, dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maksud Pasal 28 ayat (1) adalah untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua. Provinsi Papua pada akhirnya diberlakukan otonomi khusus berdasarkan UU Otsus Papua tersebut. Adapun parpol yang dimaksud adalah parpol lokal karena basis dukungannya semata-mata di wilayah Provinsi Papua, utamanya adalah landasan hukumnya bersifat khusus sesuai dengan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis.
(Sri Pujianti/NRA).