JAKARTA, HUMAS MKRI - Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) sangat diperlukan sebagai komponen dari pemeriksaan BPK terhadap keuangan negara. Sebab, PDTT merupakan pemeriksaan khusus yang diperlukan jika ditemukan indikasi kerugian negara. Tujuan pemeriksaannya untuk menemukan fakta dan bukti adanya indikasi kerugian negara akibat penyalahgunaan atau kesalahan menggunakan wewenang dalam penggunaan keuangan negara.
Hal tersebut disampaikan oleh W. Riawan Tjandra selaku Ahli Hukum Administratif Universitas Atma Jaya Yogyakarta dalam sidang lanjutan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Pengelolaan Keuangan Negara. Riawan hadir sebagai Ahli Pemerintah dalam sidang ketujuh yang digelar di Ruang Sidang MK pada Kamis (24/1/2020).
“Tindakan pemerintah dan DPR memasukkan PDTTsebagai materi muatan norma hukum dalam Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara dan Undang-Undang BPK pada hakikatnya merupakan kewenangan pemerintah untuk membentuk membuat pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka atau open legal policy,” terang Riawan dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Implementasi Kewenangan
Lebih lanjut, Riawan menyebutkan beberapa pertimbangan pembentuk UU menyertakan PDTT, di antaranya kewenangan pengaturan pemeriksaan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara diberikan kepada BPK sebagai badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Dengan demikian, kewenangan melakukan PDTT merupakan implementasi dari kewenangan BPK sebagai lembaga tinggi negara yang bebas dan mandiri. Pertimbangan berikutnya bahwa pemeriksaan PDTT bukanlah pembentukan norma hukum baru, namun suatu konsekuensi dari digunakannya kata tanggung jawab tentang keuangan negara.
Di samping itu, Riawan juga menjelaskan bahwa PDTT dimaksudkan untuk memastikan dipatuhi dan dilaksanakannya norma-norma dan prinsip konstitusional dalam UUD 1945 dengan mewujudkan kepatuhan bagi seluruh subjek hukum atau entitas pengguna keuangan negara terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN), sambung Riawan, PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan atas suatu hal yang diperiksa yang dapat bersifat eksaminasi atau pengujian dan reviu atau prosedur yang disepakati.
“Dalam konteks hukum administrasi negara, eksistensi PDTT jika dikaitkan dengan proses penegakan hukum yang terkait dengan tindak pidana korupsi justru untuk memenuhi landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” jelas Riawan.
Jenis Pemeriksaan
Dalam sidang yang sama, Sumiyati yang dihadirkan Pemerintah sebagai Saksi menyebutkan bahwa Pemohon menyatakan kewenangan BPK melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional dalam UUD 1945. Sumiyati berkata bahwa dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan juga Rancangan Undang-Undang BPK, terdapat adanya permintaan dari institusi di luar BPK untuk melaksanakan pemeriksaan keuangan negara apabila ditemukannya suatu permasalahan dalam pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja yang perlu didalami lebih lanjut. Maka atas hal ini, disepakati bersama oleh DPR, Pemerintah, dan BPK RI untuk tidak digunakan suatu istilah atau jenis pemeriksaan tertentu yakni nama generik berupa pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Hal ini agar BPK sebagai lembaga pemeriksa tertinggi dapat menjalankan mandat yang diterimanya.
Selain hal tersebut, sambung Sumiyati, dalam praktik pemeriksaan rumusan PDTT dipilih mengingat dalam international best practice, jenis-jenis pemeriksaan selalu berkembang mengikuti dinamika organisasi atau lingkungan di mana lembaga pemeriksa itu berada. Oleh karena itu, dipilih suatu rumusan yang tidak kaku. Dan untuk tetap menjaga tata kelola PDTT, maka berpedoman pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK setelah dikonsultasikan kepada Pemerintah.
“Untuk mencegah terjadinya abuse of power, Pemerintah dan DPR sepakat untuk menetapkan norma hukum yang dituangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang mengatur bahwa pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan,” urai perempuan yang pernah menjadi bagian dari anggota pembahas RUU Pemeriksaan Keuangan dan UU BPK.
Sebelumnya, dalam permohonan perkara Nomor 54/PUU-XVII/2019 ini, Ibnu Sina Chandranegara (Pemohon I) dan Aulia Kasanova (Pemohon II), yang berprofesi sebagai dosen serta Kexia Goutama (Pemohon III) yang merupakan mahasiswa menganggap Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon menyatakan secara keilmuan, Pemohon I dan II memahami kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sedangkan terkait dengan pemeriksaan kinerja sebagaimana disebutkan dalam kewenangan BPK pada UU BPK itu tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan. Hal ini juga termuat dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, Nomor 12/PUU-XII/2014, dan Nomor 97/PUU-XI/2013. Namun, setelah diundangkannya UU Pengelolaan Keuangan Negara tersebut, terdapat penambahan kewenangan BPK berupa pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Sehingga kewenangan tambahan ini adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
Ditambah pula bahwa PDTT kemudian dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf a dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. Akibatnya, terjadi potensi abuse of power yang dapat saja disalahgunakan BPK. Potensi ini dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal ini terjadi timbul kerugian para Pemohon dalam menjalankan tugas sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas PDTT kepada mahasiswa padahal lembaga negara yang dimaksud sudah mendapatkan Status Wajar Pengecualian (WTP) sebelum dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Adapun Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan kepastian atas apa yang dipelajari di ruang perkuliahan terkait kewenangan PDTT yang ternyata tidak sejalan dengan ketentuan norma yang berlaku.
Sebagai informasi bahwa sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Kamis, 6 Februari 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemerintah selanjutnya. (Sri Pujianti/LA)
https://youtu.be/rZGPzxYFMqQ